Penerapan Kaidah Usul Fikih
Kaidah Usul Fikih (Rumusan Dasar Penetapan Hukum dalam Islam) diturunkan (diderivasi,
disimpulkan) secara deduktif dari Kitabullah dan Sunnah Rasul (yang merupakan sumber acuan hkum). Kaidah Usul Fikih bersifat
lentur (fleksibel, elastis). Karena alenturnya itu, maka penerapan kaidah Usul Fikih pada rubu’ imarah (sektor pemerintahan)
adakalanya terjadi untuk membenarkan (mensahkan, menjustifikasi, melegalisirkan, melegitimasikan) suatu kebijakan pemerintahan
yang didukung.
Misalnya Kaidah usul Fikih “dar:ul mafasid muqaddam ‘ala jalbil mashalih”
(mencegah kerusakan/kerugian diupayakan lebih dulu sebelum upaya mendapatkan manfa’at/mashlahah) diterapkan untuk mendukung
kebijkan politik pemerintahan Soekarno serta mengangkat Soekarno sebagai Waliulamri dharuri bi-syaukah, dalam rangka mencegah
akibat yang lebih buruk, antara lain dari pengaruh komunisme.
Kaidah Usul Fikih “ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh” diterapkan
untuk menerima Asas Tunggal Pancasila.
Kaidah Usul Fikih “alhukmu yadullu bi ‘illatithi” (hukum tergantung
penyeabnya) diterapkan untuk menolak Megawati sebagai calon Presiden, karena khawatir akan orang-orang di sekeliling Megawati.
Kaidah Usul Fikih “al-muhafazhah ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil
jadidil ashlah” (memelihara khazanah masa lalu yang baik serta mengadopsi perkembangan terbaru yang lebih baik) diterapkan
untuk membenarkan sikap politik situasional. (Bks 29-4-2000)