Belajar Memahami Takdir
Disebutkan bahwa “siapa yang percaya bahwa mudharat dan manfa’at,
pemberian dan penahanan, petunjuk dan kesesatan, kebahagiaan dan penderitaan ada di tangan Allah dan bukan di tangan selainNya,
bahwa Dialah yang berbuat segala sesuatu menurut kehendakNya, berarti dia adalah orang yang menjadikan Allah sebagai satu-satunya
sesembahan, paling dicintai, paling ditakuti dan paling diharapkan. Ini merupakan tanda tauhid Uluhiyah, yang masuk ke dalam
hati lewat pintu tauhid Rububiyah (“Madarijus Salikin” Ibnu Qayyim, 2008:127).
Dari QS 81:29 (Takwir) dipahami tentang kekuasaan Allah, bahwa
diri manusia hanyalah alat semata, perbuatannya hanyalah seperti gerakan pohon yang terkena hembusan angin, yang menggerakkannya
selain dirinya. Kebaiakan yang keluar dari jiwa manusia hanya berasal dari Allah dan bukan berasal dari manusia itu sendiri.
Semua kebaikan yang ada pada diri manusia semata karena karunia Allah, pemberian, kebaikan dan nikmatNya. Amal usaha itu dating
dari Allah bukan dari diri manusia. Kehendak Allahlah yang membuat amal usaha manusia, dan bukan kehendak diri manusia itu
sendiri (idem, 2008:228).
Disebutkan pula bahwa menurut paham Jahmiyah (Jaham ibnu Shafwan
– pemimpin Jabariyah) baha “manusia tidak mempunyai kodrat untuk berbuat sesuatu, dan ia tidak mempunyai “kesanggupan”.
Dia hanya terpaksa dalam semua perbuatannya. Dia tidak mempunyai kodrat dan ikhtiar, melainkan Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan
pada dirinya. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia – baik yang terpuji ataupun tercela – pada hakekatnya
bukanlah hasil pekerjaannya sendiri, melainkan hanyalah termasuk ciptaan Tuhan, yang dilaksanakanNya melalui tangan manusia.
Dia adalah laksana sehelai bulu yang terkatung-katung di udara, bergerak kesana-sini menurut hembusan angin. Mereka berhujjah
antara lain dengan ayat QS 28:56, 10:99, 2:7, 1:34) (Prof Dr A Syalabi : “Sejarah dan Kebudayaan Islam”, jilid
II, Pustaka alHusna, Jakarta, 1982:379-380).
Islam mengajarkan agar memikirkan perihal makhluk ciptaan
Allah dan bukan memikirkan perihal Khalik, Allah Penguasa alam semesta. Hendaknya sibuk melaksanakan apa yang diperintahkan
Allah dan meninggalkan yang dilarang Allah, termasuk meninggalkan tentang memikirkan tentang Allah. Yang dipikirkan adalah
makhlukNya, bukan memikikan Allah. “mengapa kita menyibukkan diri dengan soal-soal bathiniyah dan melalaikan soal-soal
zhahiriyah ?” ungkap Imam Ja’far asShadiq (idem, 1982:383).
Menyikapi takdir
Yang sudah terjadi itulah yang ditakdirkan. Seangkan yang akan terjadi hanya dapat
diperkirakan, diramalkan, diprediksi berdasarkan hal yang sudah terjadi. Menyikapi yang akan terjadi inilah yang disebut dengan
“Menyikapi takdir”.
Dalam “Menyikapi takdir” terdapat dua pendekatan. Ada pendekatan ala
Qadariyah dan ada pula pendekatan ala Jabariyah. Bencana, petaka, musibah, seperti sakit menurut jabariyah haruslah dibiarkan,
karena sudah merupakan sesuatu takdir. Sedangkan menurut Qadariyah haruslah dihindarkan, karena belum tentu merupakan suratan
takdir.
Baik Qadariyah maupun Jabariyah sama-sama mengakui akan kemutlakan kekuasaan Allah,
dan sama-sama mengakui kenisbian, kemuqayyadan, kerelatifan kekuasaan manusia.
Alasan yang dikemukakan oleh Qadariyah, Jabariyah dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah
dalam masalah ini sama sekali tak ada yang memuaskan semua. Ketika membahas masalah “Qadar dan Qadha, jabar dan Ikhtiyar”
dari ayat QS 4:78-79, Sayyid Quthub terpaksa angkat tangan. “Inilah yang tidak ada jalan bagi kami untuk menjelaskannya,
karena akal manusia tidak cukup mampu untuk mengetahui bagaimana sistem kerja Allah” (“Tafsir Fi Zhilalil Qur:an”,
jilid 5, 2002:46, catatan kaki no.2).
(BKS0702080615)