Aktivitas Pemilintiran (Fitnah Terbesar)
Islam mengingatkan agar menjaga ucapan, agar mengatakan yang benar (QS Ahzab 33:70),
atau diam. “Dan siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata yang baik atau beridam diri”
(HR Bukhari, Muslim dari Abu Hurairah). Ada sejumlah jenis, macam ucapan yang buruk, busuk, karut, marut, jahat, jorok (aafaul-lisan).
Di antaranya adalah memilintir. Bahasa asingnya memanipulasi. Padanannya tahrif (penyempitan dan perluasan makna).
Belakangan ini santer, marak, bahkan merupakan tren gejala pemelintiran makna ini.
Yang sudah benar diplintir menjadi samar. Yang sudah baku diplintir menjadi ragu. Yang sudah qath’I diplintir menjadi
zhanni. Syari’at Islam diplintir sedemikian rupa, sehingga hanya sebatas ibadah ritual (shalat, shaum, zakat, haji).
Bahkan hanya sebatas prinsip-prinsip umum (hakikatnya, nilainya, semangatnya, jiwanya).
Dalil-dalil syar’i, kaidah-kaidah ushul fiqhi diplintir, dimanipulasi. Makna
syari’at Islam direduksi, sehingga terpisah, bertentangan antara hakikat dan syari’at. Makna ayat QS Ali Imran
3 diplintir, dimanipulasi sedemikian rupa, agar yang telah beragama jangan didkwahi masuk Islam. Jangan didakwahkan Islam
itu sebagai acuan tunggal (alternatif).
Makna keadilan diplinitr, dimanipulasi sedemikian rupa sehingga setiap upaya untuk
memformalkan syari’at Islam dalam perundang-undangan harus dipandang diskriminatif terhadap non-Islam.
Pengertian jihad diredusir, diturunkan dari pengertian istilah (kontekstual, keagamaan)
menjadi pengertian lughawi (tekstual, grammatikal, kebahasaan0), yang hanya berarti bekerja keras atau berjuang, bersungguh-sungguh.
Makna ijtihad dipenggal, sehingga tanpa kesungguhan dan kehati-hatian, fatwa jama’ah
(ijma’ ulama) didongkel, dikalahkan, dibatalkan oleh fatwa munfarid (perorangan).
Makna ukhuwah diplintir, dimanipulasi bahwa ukhuwah yang cocok adalah ukhuwah syu’ubiyah,
ukhuwah wathaniyah, sedangkan ukhuwah Islamiyah akan menimbulkan perpecahan bangsa, destabilitas dan disintegrasi nasional.
Kafir, kufur diplintir sedemikian rupa sehingga yang sudah berTuhan bukan lagi
kafir (yakfuruuna bi aayatillah). Dengan pengertian ini maka iblis pun bukan termasuk kategori kafir, kufur.
Akibatnya istilah-istilah agama yang sudah baku, seperti halal, haram, thaib, khubs,
khair, syarr, makruf, munkar diplintir sedemikian rupa, sehingga meskipun lafalnya tetap sama, namun maknanya sudah berubah
sama sekali. Karena saking pintarnya memilintir, menyebabkan tergelincir. Tahrif jalan ke tasykik (meragukan). Kepada Nabi
Adam telah dijelaskan Allah tentang hal yang terlarang, yang haram dilakukan. Namun karena pintarnya setan memelintir, maka
Nabi Adam sempat tergelincir (QS Baqarah 2:35-36).
Yang sudah kena tasykik tak bisa lagi membedakan antara yang baik dan yang buruk,
antara yang halal dan yang haram. Rasulullah sudah memperingatkan, bahwa “akan datang suatu masa di mana mereka menghalalkan
yang haram setelah mereka mengganti namanya”.Riba tetap saja riba, meskipun namanya bunga kembang, jasa administrasi.
Judi tetap saja judi. Namanya bisa saja dana kesejahteraan sosial, atau arisan sambung rasa, atau multi level marketing, atau
lainnya.
Islam sangat tak suka memplintir yang sudah teang (muhkamat) menjadi yang kabar
(mutasyabihat). Membuat hal-hal yang sudah diyakini (qath’i), yang sudah disepakati (ijma’) menjadi hal-hal yang
diperdebatkan, yang diperselisihkan. Misalnya nash tentang kepemimpinan sudah sangat terang, gamblang (muhkamat) menjelaskan
bahwa yang pria, yang Islam itulah yang menjadi pemimpin.
Memplintir yang sudah terang ini menjadi yang kabur adalah merupakan fitnah (bahaya)
terbesar yang dihadapi Islam. De-islamisasi, de-formalisasi syari’at Islam bergandengan memplintir yang muhkamat, yang
sudah jelas, yang sudah pasti menjadi yang mutasyabihat, yang diragukan. “Orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagiaan ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwinya”
(QS Ali Imran 3:7).
Para Rasul mengingatkan ummatnya agar jangan membuat kerusakan di muka bumi (QS
7:74, 11:85, 26:183, 29:36, 2:60). Aktivitas membuat kerusakan ini pun semakin marak pula akhir-akhir ini. Membuat kerusakan
di semua bidang, di semua lapangan. Kerusakan akhlak (dekadensi moral). Batas antara yang baik dan yang buruk sudah sangat
kabur. Kerusakan tatanan budaya (kultural). Kerusakan tatanan ekonomi. Kerusakan tatanan politik. Keruskan tatanan hukum.
Dan lain-lain. Semuanya berpangkal dari pemilintiran yang haram menjadi yang halal (serba boleh).
Untuk memuluskan pemelintiran yang haram menjadi yang halal ini digunakan antara
lain kaidah ushul fiqhi : “dar:ul mafaasid muqaddam ‘ala jalabil mashaalih”. Penerapannya disesuaikan dengan
selera. Bahkan kaidah ushul fiqhi ini juga digunakan untuk melegalisasi, meligitimasi, mengesahkan pandangan politik. Sampai-sampai
menimbulkan mafsadah (kerusakan, fitnah) yang lebih hebat, seperti perselisihan, perpecahan ummat. (Bks 11-1-2001).