Negara Islam Darussaslam Negara Sejahtera Adil Makmur

Manipulasi terminologi Islam

Home
Daftar Artikel
Jangan asal meniru
Terpecahnya Umat Islam
Bakti pada Agama Nusa Bangsa
Revolusi atau Evolusi ?
Sosok Busyro Muqaddas
Etika Publik
Malu sudah tak ada lagi
Sudah tak ada lagi malu
Manipulasi terminologi Islam
Fitnah Terbesar
Kaidah Usul Fiqih
Generasi cuek
Kesan Lebaran
Pemberlakuan syari'at Islam
Menuju Islam Merdeka
Seputar Kartosoewirjo
Musibah dan usaha
Demokrasi antara teori dan praktek
Menggenapkan Taurat
Dakwah dan Perubahan
Mencegah timbulnya teroris
Noordin M Top
Politik sekuler
Menghadapi musibah
Wujud surga
Gerakan Menegakkan Syari'at Islam
Manipulasi terminologi Islam
Pancasila dan Islam
Menyikapi takdir
Ekonomi Kapitalis versus Ekonomi Islam
Menunggu Obama dan Osama Berjabat Tangan
Madilog Tan Malaka
Teks Protokol Yahudi
Identitas Amerika
Hari kasih sayang
Program Zionis Yahudi
Panggilan Islam
Kenapa kita kalah orang menang
Pertumpahan darah sepanjang masa
Seputar Yahudi
Dakwah sepanjang masa
Kehancuran
Pesan Qur:an
About Me
Favorite Links
Contact Me
My Resume
New Page Title

Enter subhead content here

1 Manipulasi terminologi Islam

Istilah, terminologi ajaran Islam sebenarnya mempunyai pengertian yang sudah baku. Namun demikian, disamping yang berpegang pada pengertian baku, ada pula yang memanipulasi, mereduksi, meredusir pengertian yang sudah baku itu.

Ada yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam adalah berpegang pada rukum iman yang enam dan menjalankan syari’at Islam yang lima (syahadat, shalat, shaum, zakat, haji). Memahami bahwa Khalifah di kalangan Muslimin adalah semacam Paus di kalangan Katholik Kristen. Khalifah itu tanpa kekuasaan (politik, militer). Istilah-istilah jama’ah, imamah (imarah), bai’at, tha’at sama sekali tak terkait dengan kekuasaan (politik, militer). Tujuan khilafah adalah agar dapat beribadah secara tertib dan terpimpin. "Islam hanyalah da’wah diniyah. Semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhan. Tak ada hubungan apa-apa dengan masalah keduniaan, seperti urusan peperangan dan urusan politik". "Agama adalah satu hal, dan politik adalah suatu hal yang lain". "Qur:an tak pernah memerintahkan agar negeri diatur, ditata oleh Islam".

Ada pula yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam itu adalah berpegang pada prinsip-prinsip umum dari hukum Islam (hakikatnya, nilainya, semangatnya, jiwanya), sedangkan penerapan pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, kondisi, suasana, tempat, waktu (makan, zaman). "Islam itu hanya sebatas hakikat, sebatas nilai". Yang diperlukan hanyalah menggali nilai-nilai syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, dan lain-lain. Sedangkan bentuk, ujud, format, kaifiat dari syahadat, shalat, shau, haji, qurban, jihad, dan lain-lain terserah selera masing-masing sesuai dengan perubahan zaman.

Ada pula yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam itu adalah berpegang pada rukun iman yang enam dan menjalankan rukun islam yang lima, serta berjama’ah bersama-sama seara kolektif memberlakukan hudud yang ditetapkan Allah sebagai hukum positif seperti yang pernaha dilaksanakan oleh Rasulullah. Islam itu meliputi semua aspek kehidupan, termasuk politik, militer. Khilafah itu merupakan kekuasaan (politik, militer) untuk memberlakukan hudud, syari’at yang ditetapkan Allah.

Untuk memberlakukan hudud, menegakkan syari’at Islam ada yang menempuh jalur pendidikan dan bimbingan (tarbiyah dan taklim). Ada yang menempuh jalur pengabdian masyarakat, aksi sosial. Ada yang melalui dekrit pemerintah, menempuh jalur politik, jalur parlemen. Ada yang menempuh jalur kekuatan militer, dengan kekuatan senjata.

Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya di Mesir, Maududi dengan Jami’ah Islamiyahnya di Pakistan lebih memusatkan perjuangannya melalui jalur politik, jalur parlemen. Di Indonesia, Soekarno pernah menganjurkan memilih jalur parlemenini, namun ia sendiri berseberangan dengan Islam. Kartosuwirjo lebih maju, memilih jalur perjuangan bersenjata dengan memproklamasikan berdirinya Negara karunia Allah, Negara Islam Indonesia (NII).

Bagaimana pun, realisasinya sama sekali tergantung semata-mata dari anugerah karunia Allah, seperti tampilnya Umar bin Abdul Aziz yang jauh sangat berbeda dengan keluarganya dalam kalangan Bani Umawiyah (Umaiyah ?).

 

2 Soal Menegakkan Syari’at Islam

1 Risalah ALJAMA’AH No.7/Th.II/2000 (November 2000) tampil mengusung kajaian "Upaya Muslimin Menegakkan Syari’at Islam".

2 Disi kalangan Muslimin ada yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam itu adalah berpegang pada rukum iman yang enam dan menjalankan rukun islam yang lima (syahadat, shalat, shaum, zakat, haji). Dan ada pula yang memahami bahwa menegakkan syari’at Islam itu adalah berpegang pada prinsip-prinsip umum dari hukum Islam (hakikatnya, nilainya, semangatnya, jiwanya), sedangkan penerapan pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi, kondisi, suasana, tempat, waktu (makan, zaman). Dalam hubuangan ini bagaimana pandangan Redaksi ALJAMA’AH ?

3 Dikemukakan bahwa Imam Muslim meriwayatkan "Bila dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dibai’at" Hal 3, 53). Siapa yang dimaksudkan dengan "khalifah" oleh Rasulullah dalam hadits ini ? Bagaimana penerapan hadits ini oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib terhadap Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan ? Dan sejak itu sampai tahun 1924 mana saja Khalifah yang sah dan mana pula pelaku bughat yang harus dibunuh (Bani Umaiyah, Abasiyah, Fathimiyah, Maameluk, Osmaniyah, Safawiyah) ? Apakah mapu "membunuh" (menumpas ?) khalifah bughat tanpa memiliki kekuasaan (otoritas politik, militer, strategi) ?

4 Dikemukakan bahwa Imamah/Khilafah itu sudah ditegakkan oleh Wali Al-Fattah bersama muslimin lainnya sejak 20 Agustus 1953 yang pembai’atannya diumumkan melalui Harian Umum PEDOMAN dan KENGPO, serta disiarkan di Raddio Australia dalam Bahasa Inggeris (hal 3, 4, 12). Namun ada pula yang memandang bahwa pembai’atan Wali Al-Fattah itu hanya sebatas kaum kerabat (keluarga), bukan oleh umat, bahkan bukan oleh Jama’ah Muslimin se-Dunia (hal 19). Bagaimana pandangan Redaksi ALJAMA’AH tentang legalitas dan otoritas (de facto dan de jure) Kekhalifahan Wali Al-Fattah itu ?

5 Dikemukakan bahwa Perjuangan Umat Muslimin Menegakkan Syari’at Islam melalui sistim politik parlementer-konstitusional, dalam perjalanan sejarah, baik evolusioner maupun revolusioner, tidak pernah berhasil (hal 13). Apa memang pernah ada dalam catatan sejarah bahwa setelah Khulafaur-Rasyidin al-Mahdidyin terdapat perjuangan umat Muslim yang berhasil Menegakkan syari’at Islam ? Apa bukan khilafah (kekuasaan) itu hanyalah anugerah karunia Allah semata, seperti tersirat dalam QS Ali Imran 3:26 ? (Bks 27-12-2000).

6 Dikemukakan bahwa Kartosewirjo dibai’at tahun 1949( 7 Agustus) sebagai Imam NII (Negara Islam Indonesia). Wali al-Fattah dibai’at tahun 1953 (20 Agustus) sebagai Imam Jama’ah Muslimin di depan Ummat Islam Indonesia di Jakarta dan mendapat tanggapan positip dari Raja Arab Saudi tahun 1972. Muhyiddin Hamidy dibai’at tahun 1976 (20 November) sebagai Imam Jama’ah Muslimin kedua. Abdul Qadir Baraja dibai’at tahun 1997 sebagai Amirul Mukminin bagi kaum Muslimin di seluruh dunia. Nurhasan al-Ubaidah dibai’at sebagai Imam Islam Jama’ah (hal 4, 7, 9, 12, 13). Bahwa keberadaan dan tidaknya imamah, imarah, khilafah, mulkiyah atas kehendak Allah (disimak juga dari QS Ali Imran 3:26). Khilafah hanya 30 tahun (masa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali). Setelah Kekhilafahan Ali sampai tahun 1953 yang ada hanyalah Mulkiyah (Mulkan ‘adhan dan mulkan jabbariyah) (Masa kekosongan Khilafah) (Hal 11). Bahwa ada yang memahami Khalifah di kalangan Kaum Muslimin itu semacam Paus di kalangan katholik Kristen. Khalifah itu tanpa kekuasaan (politik, militer). Istilah-istilah jama’ah, imamah 9imarah), bai’at, tha’at sama sekali tak terkait dengan kekuasaan (politik, militer). Islam itu sangat santun, jauh dari kekerasan. Tujuan khilafah adalah agar dapat beribadat secara tertib dan terpimpin. Namun ada pula yang memandang bahwa Islam itu meliputi semua aspek kehidupan, termasuk politik, militer. Yang keberataan tunduk di bawah al-Qur:an, harus ditundukkan dengan kekuasaan (sulthan). Khilafah itu merupakan kekuasaan (politik, militer) untuk menjalankan pemerintahan dunia secara Islam menurut tuntunan Allah dan RasulNya (hal 13, 15). Dipertanyakan : Apakah Wali al-Fattah itu Khalifah, Imamul Muslimin, Amirul Mukminin yang diakui dan ditha’ati oleh dunia Islam (secara de facto) dan ditakuti serta diperhitungkan oleh non-Islam (secara de jure) yang mampu menunaikan amanah "Bila dibai’at du orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dibai’at" ?

 

3 Jama’ah Muslimin dan Islam Jama’ah

1 Bulan Desember 1938, Wali al-Fattah bersama Sukiman Wirjosandjojo dan Wiwoho Purbohadidjojo membentuk Partai Islam Indonesia (PII) di Surakarta. Pada 20-25 Desember 1949 di Yogyakarta diselenggarakan Kongres Muslimin Indonesia (KMI). Ketua panitia Pusat KMI, Wali al-Fattah mengemukakan bahwa "Ummat Islam menghendaki persatuan bukan perpecahan. Ummat Islam menghendaki kerjasama antara segenap Ummat Islam, bukan berdendam hati bermusuh-musuhan satu dengan yang lain (Majalah KIBLAT, No.15/XXXI, hal 8).

2 Pada tahun 1953 (20 Agustus) di Jakarta oleh para Jama’atul Muslimin Hizbullah dibai’at Wali al-Fattah sebagai Imam dan Khalifah Dunia. Waktu itu Wali al-Fattah menjabat Kepala Biro Politik Kementerian Dalam Negeri RI di jaman demokrasi parlementer. Wali al-Fattah memperkenalkan Doktrin Imamah dan Jama’ah (Doktrin Bai’at, Amir, Jama’ah, Ta’at : "Sesungguhnya tiada Islam tanpa jama’ah, dan tiada jama’ah tanpa imarah, dan tiada imarah tanpa tha’at", HR Darimi). Diantara yang ikut berbai’at adalah Madekal (Madigol) yang kemudian dikenal dengan H Nurhasan al-Ubaidah Lubis (Luar Biasa) sebagai Amir Al-Imam Islam JAMA’AH.

3 Sekitar tahun 1960 Bambang Irawan Hafuludin ikut berbai’ah kepada Wali al-Fattah dengan berhadapan langsung di rumah Wali al-Fattah di Jalan Cideng Jakarta. Wali al-Fattah punya hubuangan dengan Ali Murtopo. Mengenai hubungan ini dapat disimak dalam buku karya Wali al-Fattah "Al-Khilafah ‘Ala min Hajin Nubuwah".

4 Pada tahun 1951 oleh H Nurhasan al-Ubaidah didirikan Darul Hadits/ISLAM JAMA’AH. Tanggal 18 Juni 1967, kemudian tanggal 22 Oktober 1967 oleh Pangdam VII/Brawijaya. Darul Hadits/ISALAM JAMA’AH dilarang. Tanggal 29 Oktober 1971 oleh Jaksa Agung, Darul Hadits/ISLAM JAMA’AH, Jama’ah Qur:an-Hadits, Yayasan Pendidikan Islam Jama’ah (JPID), Yayasan Pondok Pesantren Nasional (YAPPENAS) dilarang. Secara aktif ISLAM JAMA’AH dibina oleh Jenderal Sujono Umardhani dan Jenderal Ali Murtopo bersama perwira-perwira OPSUS-nya. Pengikut ISLAM JAMA’AH dalam Pemilu 1971 mendukung GOLKAR (Kutipan makalah KH Ibrahim ash-Shiddiq Adiputra, oleh H Bambang Hafiluddin, 9 Maret 1997).

5 Untuk menampung mantan anggota Darul Hadits/ISLAM JAMA’AH yang dilarang Jaksa Agung RI 29 Oktober 1971, didirikan LEMKARI (Lembaga Karyawan Indonesia) pada 13 Juni 1972 yang kemudian berafiliasi ke GOLKAR. Tahun 1981 LEMKARI dalam MUBES-II nya berganti nama dari Lembaga Karyawan Indonesia menjadi Lembaga Karyawan Dakwah Islam (LEMKARI). Sesuai dengan UU No.8 tahun 1985, LEMKARI tidak lagi di bawah GOLKAR. Sesuai dengan Keputusan Kongres/Muktamar 1990, LEMKARI berubah/berganti nama menjadi Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) (LDII, oleh Pusat Penelitian Pengembangan Kehidupan Beragama Departemen Agama RI, Jakarta, 1996).

6 Kelompok Ali Murtopo cs melalui CSIS-nya memasok hampir seluruh konsep-konsep pemerintahan Orde Baru, baik untuk birokrasi maupun militer. "Kelompok Ali Murtopo cs dengan CSIS-nya telah berhasil mensuplai/mendominasi gagasan kebijaksanaan pemerintah Orde Baru, sehingga pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto berada di bawah kekuasaan dan kendali mereka" (Risalah ALJAMA’AH sempat curiga bahwa Kongres Mujahidin I Yogyakarta dirancang oleh CSIS untuk dihabisi : No.07/Th.II/2000, hal 7).

7 Informasi dan konfirmasi dapat diperoleh dari mantan aktivis ISLAM JAMA’AH. H Bambang Irawan Hafiludin, Jl Syahrin No.6, RT-06/07 Gandaria Utara, Jakarta Selatan 12140, Tilp 7254639).

 

4 Jalan Menuju Merdeka

Kemerdekaan sejati (hakiki) adalah bebas-mrdeka, berdaulat, berlakunya hukum, ajaran Allah. Setiap orang bebas-merdeka melaksanakan ibadahnya menurut agamanya masing-masing. Yang Yahudi bebas-merdeka menjalankan hukum, ajaran Taurat. Yang Nasrani bebas-merdeka menjalankan hukum, ajaran Injil. Yang Muslim bebas-merdeka menjalankan hukum, ajaran Qur:an (QS Ma:idah 5:66). Di mana-mana, di biara-biara, di gereja-gereja, di masjid-masjid bebas-merdeka menyebut nama Allah, mensucikanNya, memujiNya, mengagungkanNya (QS Haj 22:40).

Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 Ir Soekarno mengajak pemuka Islam bekerja sehebat-hebatnya agar supaya sebagian terbesar kursi DPR diduduki oleh utusan-utusan Islam, sehingga hukum-hukum yang dihasilkan DPR itu adalah hukum Islam. Namun sayang, dalam praktek perjuangannya, Ir Soekarno sebenarnya sama sekali tak tertarik memperjuangkan bebas-merdekanya hukum, ajaran Allah.

Selain melalui jalur politik-parlementer-konstitusional (DPR/MPR), Dr Yusuf Qardhawi mengemukakan beberapa jalan lagi yang pernah diperbincangkan sebagai strategi dakwah, jihad bagi bebas-merdekanya hukum, ajaran Allah. Pertama, jihad dengan dekrit pemerintah, pengemuman pemerintah. Kedua, jihad dengan kekuatan militer, dengan kekuatan senjata. Ketiga, dengan pendidikan dan bimbingan (tarbiyah dan taklim). Keempat, jihad dengan pengabdian masyarakat (aksi sosial, tabligh). Di samping itu ada pula jihad dengan harta (amwal).

Bagaimana pun, realisasinya sama sekali tergantung semata-mata dari anugerah karunia Allah, seperti tampilnya Umar bin Abdul Aziz yang sangat jauh berbeda dengan keluarganya dalam kalangan Bani Umawiyah.

Berbeda dengan Soekarno, Kartosuwirjo lebih maju, sangat kommit dengan Islam, dan memilih perjuangan bersenjata, agar tak ada lagi fitnah, gangguan bagi kebebasan berlakunya hukum, ajaran Allah (QS Baqarah 2:193, Anfal 8:39), sehingga kalimat Allah itu benar-benar berdaulat (hiya al’ulya). Hasan al-Banna dengan Ikhwanul Musliminnya di Mesir, Maududi dengan Jami’ah Islamiyahnya di Pakistan lebih memusatkan perjuangannya melalui jalur politik, jalur parlemen.

Namun bagaimana pun, kemerdekaan itu bukanlah diperoleh dari hadiah pemberian penguasa mana pun, tapi harus direbut diperjuangkan (biljihad) dengan mengorbankan harta (amwal) dan nyawa (anfus). Bila benar-benar ingin merdeka, maka Moro, Patani, Kashmir, Chechnya, Palestina, Kurdistan, Sinkiang juga Aceh Darussalam, maka harus senantiasa siap mengorbankan harta kekayaan dan jiwa raga untuk kemerdekaan itu, bukan dengan mengemis-ngemis minta kasihani. "Mohonkanlah pertolongan kepada Allah dan bersabarlah. Sesungguhnya bumi ini kepunyaan Allah, dipusakakanNya kepada siapa yang dikehendakiNya dari hamba-hambaNya" (QS A’raf 7:128) (Bks 13-12-2000).

 

5 Menyoal konsistensi dakwah

Pada perdebatan Konstutante (1956-1959) ada dua pihak.

Pertama, pihak Islam yang menuntut kembalinya tujuh

kata tentang kewajiban melaksanakan syari’at Islam

bagi pemeluknya ke dalam Pembukaan UUD-45 seperti

asalnya dalam Piagam Jakarta. Kedua, pihak nasionalis

sekuler netral agama yang menantang dan menolaknya.

Pemungutan suara dilakukan tiga kali. Hasilnya, tidak

ada pihak yang mencapai dua pertiga suara (SABILI

6-VIII:33).

Untuk Sidang Tahunan MPR-2000, Badan Pekerja MPR

mempersiapkan empat alternatif (opsi) bagi amandemen

ayat 1 pasal 29. Pertama, Negara berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa. Kedua, Negara berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at

Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ketiga, Negara

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban

melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing

pemeluknya. Keempat berdasarkan Pancasila (idem

6-VIII-20).

Mutammimul ‘Ula, anggota Fraksi Reformasi dari Partai

Keadilan menambahkan lagi khilafiyah (opsi) kelima,

Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan

kewajiban menjalankan Islam (tanpa syari’at) bagi

pemeluknya. Alasan ijtihadnya, bahwa syari’at

berkaitan dengan fiqih (maunya tak berkaitan dengan

fiqih). Juga dalam al-Qur:an tak ada kata syari’at,

yang ada kata syar’iah (apa sih beda substansinya

antara akhiran t dan h ?). Dan yang diperintahkan

adalah aqimuddin, bukan menegakkan syari’at Islam

(idem 6-VIII:26).

Menurut Dr Daud Rasyid Sitorus MA (Anggota Dewan

Syar’iah Partai Keadilan ?) bahwa kendati Partai

Keadilan berada dalam satu Fraksi dengan PAN,

seharusnya Partai Keadilan mengomandoi perjuangan

amandemen pasal 29 UUD-45 ini agar sesuai dengan

Piagama Jakarta (idem 6-VIII:25).

Bahkan orang-orang muda semacam Mutammimul ‘Ula, Daud

Rasyid Sitorus, Yusril Ihza Mahendra, Eggi Sujana

(idem 6-VIII:9), dll, sebaiknya berada dalam satu saf,

satu barisan, satu front perjuangan bagi tegaknya

hukum Allah sebagai hukum positif.

Untuk mencapai suara terbanyak (walaupun tidak sampai

dua pertiga), maka pemunguan suara bagi ke-empat opsi

(alternatif) yang disiapkan Badan Pekerja MPR tersebut

sebaiknya dilakukan sampai tiga kali.

Namun harapan tersebut tak pernah tercapai. Menurut

Prof Dr Deliar Noer, ini disebabkan oleh karena

kondisi riil kalangan Islam tidak konsisten dalam

pendiriannya (idem 6-VIII:33). Dan juga, menurut DR

Daud Rasyid Sitorus MA, karena umat Islam sering tidak

mempunyai rencana yang matang untuk menghadapi masa

depannya (idem 6-VIII:24). Disamping tak istiqamah

(konsisten dan konsekwen), tak punya planning, pun tak

ada keseriusan. Bahkan SABILI sendiri tak menunjukkan

keseriusan dan kegigihan.

Beberapa waktu yang lalu, SABILI memang pernah

menggugat berhala Pancasila (idem 26-VIII). Namun

SABILI (bahkan sampai Sidang Tahunan MPR-2000) tak

pernah secara gigih, serius, berkesinmbungan

menjelaskan kelemahan dan kekuatan UUD-45 dengan

Pancasilanya (baik mengenai HAM, Hak Prerogatif

Presiden, Alat Perlengkapan Negara, Alat Pertahanan

Negara, Alat Keamanan Negara, Kewajiban Kepala Negara,

Penyidangan Pejabat Negara, dan lain-lain).

Juga SABILI tak pernah secara serius berkesinambungan

menyajikan uraian/kajian yang meyakinkan akan

keunggulan keadilan syari’at Islam secara aktual, baik

teoritik, maupun empirik, yang sekaligus mencakup

uraian/kajian mengenai penanganan ekonomi, moral,

hukum secara serempak menyeluruh.

Mskipun menyatakan bahwa tiras SABILI yang lebih dari

100 ribu eksemplar saat ini tak akan membuat cepat

berpuas diri (idem 25-VII:2), namun tak dapat

dipungkiri terbersit kebanggaan bahwa tiras SABILI

sudah menembus angka 100 ribu (idem 19-VII:2)(Bks 6-9-2000)

 

6 Umat Islam Indonesia ini hendak kemana ?

Apa yang diperjuangkan pemimpin-pemimpin umat Islam

Indonesia ini ? Untuk mencari jawaban pertanyaan ini,

barangkali dapat ditelusuri dari perjuangan beberapa

pemimpin yang dapat dikwalifikasikan/dipandang

mewakili pemimpin-pemimpin umat Islam Indonesia.

Antara lain Pangeran Diponegoro di Jawa yang

memperjuangkan terbentuknya negara berdaulat (merdeka)

di bawah pimpinan seorang Amirul Mukminin. Kedua,

Tuanku Imam Bonjol dengan kaum Paderinya di Sumatera

yang memperjuangkan lenyapnya adat (ideologi lokal)

dan menggantinya dengan aturan-aturan agama (Islam).

(Anwar Sanusi : "Sejarah Indonesia" III, 1951:50,62).

Ketiga, pemimpin ummat Islam Indonesia dalam sidang

BPUUPKI (seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, dr Soekiman

wirjosanjojo, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar

Muzakir, Agus Salim, Wahid Hasyim) memperjuangkan

Islam sebagai dasar negara (Agama negara adalah Islam

dengan menjamin kemerdekaan orang-orang beragama lain

untuk beribadat menurut agamanya masing-masing.

Presiden ialah orang Indonnesia asli dan beragama

Islam) (ESTAFET 12, 10-1986:24-25, Prof.JHA Logemann :

"Keterangan-Keterangan Tentang Terjadinya UUD-1945",

hlm 21). Keempat, pemimpin-pemimpin umat Islam

Indonesia dalam sidang Konstituante hasil pemilu 1955

yang memperjuangkan agar redaksional Pembukaan UUD-45

dikembalikan seperti konsensus semula yaitu seperti

dalam Piagam Jakarta. Perjuangan tersebut tak

berhasil. Kenapa ? Karena Islam itu belum mengakar.

Belum ada badan, tubuh, kaki, tangan, bagian, anggota

yang mendukung, yang menyangga. Belum dapat hidup,

meskipun sudah ada kepala. "Kita, berkata, 90% dari

pada kita beragama Islam, tetapi lihatlah dalam sidang

BPUUPKI, berapa persen yang memberikan suaranya kepada

Islam ? Hal ini adalah salah satu bukti, bahwa Islam

belum mengakar, belum hidup-sehidupnya di dalam

kalangan rakyat (Indonesia)" ungkap Ir Soekarno dalam

Pidato Lahirnya Pancasila (1947:31).

Manusia dalam hidupnya bisa bertukar warna (haluan)

dari bergerak maju (revolusioner) ke bergerak mundur

(konservatif-reaksioner), dan sebaliknya. Presiden

Soekarno tak luput dari ini. Beliau tergoda dengan

pujian, sanjungan, gelar kehormatan, nikmat kekuasaan.

Tak ada pemerintah yang dengan sukarela membatasi

sendiri kekuasaannya. Pemerintah hanya mau memberikan

hak-hak politik kepada anggota masyarakat, kalau

dinilai masih sesuai dengan kepentingannya dan tidak

membahayakan kekuasaannya (PANJI MASYARAKAT 447,

21-10-1984:47-48). Ketika sidang Konstituante masih

belum tuntas berhasil mengambil kesepakatan, Presiden

Soekarno segera membubarkan Konstituante dan

menyatakan kembali ke UUD-45 serta membentuk Kabinet

Presidentil. Dengan Kabinet Presidentil memungkinkan

terwujudnya suatu kepemimpinan nasional yang kuat.

Presiden bisa bertindak mengangkat dan memberhentikan

para Menteri yang merupakan pembantunya. Sedangkan

Parlemen tak kuasa menjatuhkan Presiden (Soegiarso

Soerojo : "Siapa Menabur Angin" 1988:101-102). (UUD-45

lebih besar memberi kekuasaan pada bidang eksekutif,

sedangkan UUDS-50 lebih besar memberi HAM pada

warganegara).

Dalam pandangan Hamka, ummat Islam wajib berikhtiar

agar Islam dalam keseluruhannya berlaku pada

masing-masing pribadi, lalu kepada masyarakat,

kemudian kepada negara. Selama hayat dikandung badan,

harus berjuang terus agar Islam dalam keseluruhannya

dapat berdiri dalam kehidupan. Jangan sampai mengakui

bahwa ada satu peraturan lain yang lebih baik dari

peraturan Islam ("Tafsir al-Azhar" II, 1983:174)..

"Jika ada jami’ah atau wadah ummat Islam yang

mencita-citakan berlakunya ajaran Islam yang berhaluan

ahlussunnah wal jam’ah di tengah-tengah kehidupan di

dalam wadah negara RI yang berlandaskan Pancasila dan

UUD-45, agaknya bukan sesuatu yang belebihan". "Sama

sekali bukan pengkhianatan terhadap konstitusi 1945

yang pemberlakuannya kembali melalui Dekrit 5 Juli

1959". Dalam konsideran Dekrit Presiden 5 Juli 1959

secara tegas dinyatakan bahwa Piagam Jakarta

tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD-45 dan merupakan

suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut,

ujar M.Said Budairy (REPUBLIKA, 18-8-1996:2).

Dalam BPUUPKI, Ir Soekarno menyeru pemimpin-pemimpin

ummat Islam Indonesia bekerja sekeras-kerasnya untuk

menggerakkan segenap rakyat, mengarahkan

sebanyak-banyaknya pemuka-pemuka, utusan-utusan Islam

duduk dalam badan perwakilan rakyat, sehingga

hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat

itu hukum Islam pula (Bks 9-10-96).

7 Menyoal pemberlakuan syari’at Islam

Sungguh sangat simpatik pernyataan Haib Husein

al-Habsyi bersama kawan-kawan yang antara lain

menuntut Sidang Umum MPR mendatang mempersiapkan

Referendum Nasional dengan opsi pemberlakuan syari’at

Islam dalam hukum nasional (SABILI, No.15, 5 Januari

2000, hlm 55).

Empat puluh lima tahun yang lalu (tahun 1955)

wakil-wakil parpol Islam dalam Sidang Konstituante

menuntut agar Piagam Jakarta sebagai ikrar kesepakatan

bersama pada 22 Juni 1945 yang pernah dikhianati pada

18 Agustus 1945 dengan menghilangkan "dengan kewajiban

menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya",

dikembalikan seutuhnya sebagai Pembuka UUD. (Khannas

sebaliknya menuding bahwa yang berupaya mengembalikan

Piagam Jakarta itu adalah orang-orang yang mengingkari

sejarah pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia

dengan kebhinekaannya).

Namun secara inkonstitusional, tuntutan pengembalian

Piagam Jakarta Tersebut disambut dengan Dekrit

Presiden 5 Juli 1959 yang membubarkan konstituante

hasil pilihan rakyat dan memberlakukan kembali UUD-45.

Berdasarkan perspektif historis dan tekstual, UUD-45

tetap saja bersifat sementara (Ayat 2 Aturan

Tambahan). Bahkan semangat dan jiwa UUD-45 bersifat

mendua, antara demokratis dan anti-demokratis

(Muhammad Yamin : "Proklamasi dan Konstitusi RI",

1952:90).

Sesuai kondisi riil masa kini, maka referendum dengan

opsi pemberlakuan syari’at dan hudud Islam seyogianya

bersifat lokal, daerah per daerah, namun

penyelenggaraannya bisa saja serentak di seluruh

nusantara oleh pemerintah pusat.

Semoga bangsa ini tidak lagi mengkhianati ikrar yang

telah disepakati bersama, dan semoga tidak mendapat

kutukan dan laknat dari yang memberi kemerdekaan (Bks 27-1-2000)

 

 

8 Menyoal Dasar Perjuangan

Jika sekiranya masyarakat Tanah Rencong berjuang hanya

agar syari’at Islam, hukum Allah berdaulat, berkuasa

di bumi Aceh, insya-Allah kemenangan akan diperoleh

dengan idzin Allah.

Siapa yang berjuang (berperang) semata-mata untuk

menegakkan kalimat (agama) Allah, kata Rasulullah,

maka itulah (perjuangan) fi-sabilillah (HR Bukhari,

Muslim dari Abu Musa Asy’ari).

Jika kamu menolong (agama) Allah, kata Allah, niscaya

Allah menolong kamu dan menetapkan telapak kakimu (QS

Muhammad 47:7).

Sesungguhnya orang-orang yang berkata "Tuhan kami

ialah Allah", kemudian berlaku lurus, kata Allah, maka

tiadalah mereka takut dan tiada pula berduka cita (QS

Ahqaaf 46:13).

Bilamana perjuangan didasarkan pada rasa kebanggaan,

kemegahan, kejayaan, kepahlawanan, kebangsaan,

kesukuan, kedaerahan, dan lain-lain, maka di sisi

Allah tak ada nilainya sama sekali.

Dalam perjuangan, yang paling penting dari yang

penting adalah meluruskan, membetulkan niat, motivasi,

dasar perjuangan itu sendiri, yaitu hanya semata-mata

untuk tegak berdaulatnya kalimatullah (Islam) (Bks 20-8-99).

 

9 Menyoal pendirian

Semula berpendirian bahwa untuk dapat berlakunya hukum

Allah sebagai hukum positip di tengah masyarakat butuh

adanya suatu kekuasaan pelaksana. Karena itu perlu ada

usaha, upaya untuk memperoleh kekuasaan itu.

Barangkali pendirian ini mengacu (bertaklid) pada

pendirian Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa negara

Islam itu harus diadakan untuk terlaksananya

undang-undang Islam (untuk melaksanakan hukum Qur:an,

dan bukan untuk memusyawarahkan hukumnya).

Namun kemudian setelah beberapa kali melakukan kaji

ulang (muhasabah), maka kini pendirian itu berubah

seratus delapan puluh deraajat, bertolak belakang sama

sekali. Kini terperangkap dalam pendirian bahwa

kekuasaan (termasuk juga kekayaan) adalah anugerah

Allah semata, hak prerogatif mutlak dari Allah, tanpa

secuilpun campur tangan siapapun (disimak dari QS

3:26, 13:26, 16:71, dan lain-lain).

Perubahan pendirian ini bukan disebabkan oleh maraknya

isu bahwa "tak ada negara Islam" dalam Qur:an dan

Hadits. Tapi lebih bertolak dari visi dan persepsi

tentang data sejarah. Reformasi yang terjadi

belakangan ini pun semata-mata digerakkan oleh Allah,

tanpa campur tangan manusia. Tak seorangpun, tak

satupun kelompok yang menggerakkan reformasi.

Diantara Rasul, hanyalah Daud dan Sulaiman yang

dianugerahi oleh Allah berupa kekuasaan (sebagai

raja). Allah memberikan kekuasaan kepada Namruz, bukan

kepada Ibrahim, kepada Fir’aun dan bukan kepada Musa.

Allah memberikan kekayan kepada Qarun, bukan kepada

Khidir. Allah memberikan IPTEK kepada Haman, dan bukan

kepada Musa atau Khidir. Semuanya ada hikmah/rahasia

yang tak dapat dipahami manusia. "Aku mengetahui

apa-apa yang tiada kamu ketahui" (QS 2:30).

Baik Ibrahim, maupun Musa tak pernah berupaya

menyusun, menggalang kekuatan, menggembleng dan

mengerahkan massa untuk meruntuhkan kekuasaan

penguasa, baik Namruz maupun Fir’aun. Bahkan Musa

hanya berupaya menyelamatkan diri dan pengikutnya

dengan menyeberangi Laut Merah untuk dapat selamat

dari kejaran pasukan Fir’aun. Keruntuhan kekuasaan

Namruz dan Fir’aun pun semata-mata atas iradat dan

kodrat Allah tanpa campur tangan Ibrahim dan Musa.

Semuanya sesuai dengan ketetapan Allah sendiri

(disimak dari QS 35:43, 33:62, 48:23).

Bangkitnya Islam pun di Tanah Arab bukanlah atas usaha

dan upaya dari sisa-sisa pengikut ajaran Nabi Ibrahim,

tetapi semata-mata atas anugerah Allah yang telah

menghadirkan Rasul-Nya Muhammad saw sebagai penggerak

pertama di sana. (Dr Mushthafa as-Siba’I : "Sari

Sejarah Dan Perjuangan Rasulullah saw", 1983:30, Dr

Muhammad Said Ramadhan al-Buthy : "Sirah Nabawiyah I",

1992 :45-46).

Umar bin Abdul Aziz berubah dari pemuda glamour,

foya-foyqa, pelesiran menjadi manusia zuhud (bukan

hamba harta-dunia), bukanlah atas usaha keluarga,

masyarakat, lingkungannya, tetapi semata-mata anugerah

Allah, bukan mengikuti teori/hukum Stern, bahwa

manusia itu ditentukan oleh bawaan/bakat dan

milieu/lingkungan. Bawaan/bakat manusia itu mencakup

kefasikan dan ketakwaan (disimak dari QS 91:8).

Masyarakat yang berada di bawah pemerintahan Khalifah

Umar bin Abdul Aziz (yang hanya berlansung dua tahun

dari 99 sampai 101 Hijriyah), itulah masyarakat yang

benar-benar masyarakat adil dan makmur. Sayangnya tak

tercatat dalam catatan sejarah bahwa masyarakat

sebelum itu, yaitu masyarakat bani Umaiyah adalah

masyarakat yang benar-benar masyarakat IMTAQ. Masih

saja terdapat rahasia (faktor X) yang menjadi

persyaratan terwujudnya masyarakat IMTAQ yang

sempurna. Manusia tak pernah tahu waktunya (QS 7:34,

10:49). Yang sempat diketahui adalah bahwa masyarakat

yang akan memperoleh keadilan, kemakmuran, berupa

kemajuan IPTEK, keberkahan (QS 7:96), kebebasan dari

bencana (QS 5:65), kekuasaan (QS 24:55), adalah

masyarakat yang benar

benar masyarakat IMTAQ.

"Jika hamba-hamba-Ku ta’at kepada-Ku, Kujadikan hati

raja-raja mereka penuh kasih sayang kepada mereka, dan

apabila mendurhaka kepada-Ku, Kujadikan raja-raja

penuh kemarahan dan kebengisan sehingga menganiaya

mereka dengan siksa yang buruk. Maka jangan sibukkan

dirimu dengan mengutuk raja-raja, tetapi sibukkan

dirimu dengan dzikir dan berdo’a secara khusyu’ supaya

Kulindungi kamu dari raja-rajamu" (HR Abu Nu’aim,

Thabari dalam "Koreksi Pola Hidup Umat Islam",

1986:52, oleh Muhammad Zakaria al-Kandahlawi). Usaha

yang wajib dilakukan adalah menyeru mengajak

orang-orang untuk menjadi masyarakat IMTAQ.

Pendirian bahwa semuanya adalah atas iradat dan kudrat

Allah secara mutlak, tanpa campur sedikitpun dari

makhluk, pernah diberi cap/label/stigmatisasi sebagai

pendirian "jabariyah". Tapi apakah ajaran Jabariyah

itu termasuk pada ajaran kufur ? Apakah ajaran

Jabariyah itu mengandung unsur syirik. Apalkah ajaran

jabariyah itu bertentangan dengan ajaran Tauhid, yang

mengajarkan bahwa tak ada satu pun sekutu (termasuk

sekutu dalam kekuasaan) bagi Allah swt (Bks 11-3-98).

 

10 Arah dakwah

Sasaran uama dakwah adalah mengajak, menyeru manusia

agar hanya menyembah Allah, dan tidak

mempersekutukan-Nya dalam hal apa pun dengan suatu apa

pun, serta bersyahadat membenarkan Muhammad itu

benar-benar Rasul Allah. Sekaligus membela,

mempertahankan, memperjuangkan tegaknya syahadat yang

dikrarkan itu dalam diri pribadi dan di tengah

masyarakat. Setelah itu berbuat baik terhadap kedua

orang tua, dan sekali-kali tidak menyinggung, melukai

perasaan, hati kedua orang tua. Meyakini sepenuhnya

bahwa Allah itu yang memberi rezki (makanan, minuman,

kehidupan, kesehatan, ilmu pengetahuan, kecakapan,

ketrampilan, kekayaan, kekuasaan) bagi semuanya.

Menjauhi, menghindari segala sesuatu yang jijik,

jorok, cabul, porno, mesum, baik terang-terangan,

maupun sembunyi-sembunyi. Membela, mempertahankan,

memperjuangkan hak hidup siapa pun dan tidak

memperkosa hak hidup itu. Membangun tegaknya

masyarakat adil makmur. Menegakkan keadilan secara

utuh, baik terhadap diri sendiri (introspeksi), maupun

terhadap masyarakat, baik dalam bidang hukum, maupun

dalam bidang politik, ekonomi, sosial, budaya.

Menyebarkan dan menyuburkan kebajikan, kebaikan,

kemakmuran baik terhadap yang Muslim, maupun

non-Muslim, tanpa diskriminasi. Menyantuni yang

terlantar, mulai dari kerabat yang dekat sampai jauh.

Tidak melakukan tindak keonaran, makar, kekacaauan,

kejahatan, kemunkaran, keresahan, kerusuhan,

kegelisahan (QS 6:151, 16:30). Seruan dakwah ini

sangat dibenci, ditakuti, tidak disukai oleh para

penguasa, terutama sekali para adikuasa, adidaya,

seperti Kaisar dan Kisra.

"Wahai manusia. Ucapkanlah "la ilaaha illallaah",

niscaya kalian beruntung. Dengan kalimat ini kalian

akan menguasai bangsa Arab dan orang-orang Ajam. Jika

kalian beriman, maka kalian akan menjadi raja di

surga". Demikian seruan Rasulullah yang seringkali

disampaikan kepada manusia. (Sirah Nabawiyah, Planning

Dan Organisasi Dakwah Rasulullah, Petunjuk Jalan,

Metoda Revolusi Islam) (Bks 18-4-98).

 

11 Politik organisasi dakwah

Organisasi dakwah – menurut Hasan al-Banna, pendiri

Ikhwanul Muslimin – adalah menyeru, memanggil manusia

pada kebenaran dan kedamaian, untuk mengikuti tuntunan

Allah dalam Qur:an dan Sunnah Rasul-Nya, beserta

mengikuti teladan para sahabat Rasulullah saw.

Organisasi dakwah mengajak untuk berpegang dan

menegakkan hukum-hukum, ajaran-ajaran, dan

petunjuk-petunjuk Allah swt. Organisasi dakwah

berakidah Islamiyah. Rela diatur oleh aturan Allah swt

(QS 5:44-50,66). Organisasi dakwah tak mengenal

dinding batas dissskriminasi waktu (zamani) dan tempat

(makani) serta kondisi (waqi’I) (QS 21:107).

Apabila ajakan, misi, aktivitas, kegiatan organisasi

dakwah ini dikatakan, dikategorikan, dinilai membawa

prinsip politik, melakukan aktivitas, kegiatan politik

praktis, memang dakwah itu membawa prinsip poltik

menegakkan kebenaran, yang tak memisahkan antara agama

dan politik. Organisasi dakwah mencakup mengurusi

masalah politik, masalah sosial dan pembaruan, masalah

olah-jasmani dan olah-rohani. Mencakup dakwah,

tarikah, siasah, iqtishad, tsaqafah, madaniyah,

riyadhah, tanpa menyisakan, menyisihkan yang termasuk

dalam Islam kaffah. Dakwah itu dilakukan simultan,

serentak menyebar ke segala sektor kehidupan, bukan

terbatas hanya pada satu dua sektor tertentu saja (QS

2:208).

Risiko yang menghadap, yang menanti pendukung dakwah

bisa dipenjarakan, ditangkap, dibuang, dikejar-kejar

(sebagai buronan), kehilangan harta (karena disita),

kehilangan pekerjaan (karena dipecat). Pendukung

dakwah akan mendapat tantangan. Akan dipertanyakan

apakah dakwah dapat dijadikan sebagai landasan

pembangunan masyarakat, serta mengobati penyakit

masyarakat (patologi sosial), apalagi dalam suasana

negara sedang dilanda berbagai resesi dan krisis ?

Apakah mungkin dakwah gerakan amar makruf nahi munkar

dapat menata sistim ekonomi tanpa menggunakan asas

rente (dengan tingkat suku bunga nol, seperti

diajarkan pakar Ekonomi Keynes dalam "The General

Theory of Employment, Intrest and Money") ? Apakah

yang dapat dilakukan dakwah menghadapi budaya global

emansipasi (wanita dan pria) ? Dan lain-lain (QS

23:71).

Berbeda dengan al-Banna, meskipun diakui bahwa adalah

tidak bijak menghindari kegiatan politik praktis dalam

memperjuangkan tegaknya bangunan Masyarakat Utama,

Masyarakat Islam, namun Dr HM Amien Rais MA yang visi

dan persepsi poltiknya hampir sejalan dengan Mr

Mohammad Roem, mengemukakan bahwa untuk membangun

infrastruktur Masyarakat Utama itu tidak bisa dengan

mengambil jalan pintas, tetapi dalam perspektif jangka

panjang (USWATUN HASANAH 495:1998)(Bks 18-4-98).

 

12 Masyarakat Adil dan Makmur

Kemakmuran, keadilan, ketenteraman, keamanan masih

tetap saja tinggal sebagai impian, dambaan, harapan

bagi orang banyak. Sudah lebih lima puluh tahun

merdeka, baik masa ORLA, maupun masa ORBA, hanya

segelintir orang tertentu yang sempat berhasil

mereguk, mengenyam kemakmuran, keadilan, ketenteraman,

keamanaN TERSEBUT. Hanya MEREKA itulah yang sempat

menikmati kekayaan milyaran, bahkan triliyunan untuk

ratusan turunan. Selebihnya tetap saja kere, jembel,

kuli (ada yang berdasi, dan ada yang tidak0) dari

proyek-proyek konglomerat. Walaupun demikian,

perjuangan tak pernah berhenti untuk meraih kemakmuran

lahir batin, keadilan dalam

politik-ekonomi-hukum-sosial-budaya, bersih dari

kolusi, komisi, konspirasi, ketenteraman dan keamanan

keluarga dan masyarakat.

Untuk menuju masjarakat adil dan makmur itu, Islam

memberikan tuntunan agar senantiasa menyimak,

memperhatikan, mengikuti, menjalankan tuntunan agama

yang disampaikan oleh para ulama berupa keharusan

berbuat kebajikan dan larangan berbuat tindak

kejahatan. Tidak meremehkan, mengabaikan para ulama,

apalagi membatasi gerak dakwahnya atau mencekalnya,

atau menjadikan wejangannya sebagai bahan lawakan.

Berikutnya, lebih memusatkan perhatian pada

pembangunan mental spiritual (moral), dan bukan

terlalu terfokus pada pembangunan fisik material

(ekonomi). Islam lahir, tampil membawa pesan/amanat

untuk lebih mengutamakan perbaiakan budi pekerti

(akhlak), bukan untuk lebih mengutamakan perbaikan

penampilan fisik jasmani. Memang Islam juga mendorong

untuk berusaha mencari rezki sekuat tenaga, tetapi

harta-kekayaan yang lebih dari kebutuhan hendaknya

diberikan kepada orang-orang yang melarat (QS2:219).

Islam tidak menyukai menumpuk-numpuk kekayaan, apalagi

untuk foya-foya, bahkan untuk ratusan turunan.

Sesungguhnya kelebihan harta itu menurut riwayat Ali

bin Abi Thalib – hanyalah milik orang lain yang

disimpan. Jangan membuat tempat timbunan kekayaan,

yang – menurut riwayat Tirmizi – akan menyebabkan

cinta pada dunia.

Sebagai orang bersaudara, Islam juga tidak menyukai

sealing bersaing dalam mencari rezki. Islam menuntun

agar saling tolong menolong, saling bantu membantu

dalam kebaikan. Termasuk tolong menolong mencarikan

jlan keluar mengatasi kesulitan permodalan, tenaga

kerja, pemasaran, manajemen.

Tuntunan Islam yang disampaikan Rasulullah saw antara

lain bahwa "Apabila kaum Muslimin membenci ulama

mereka, menonjolkan pembangunan pasar mereka, dan

saling berkelahi untuk mengumpulkan uang, maka Allah

swt menimpakan kepada mereka empat perkara : musim

pacekelik, kezhaliman penguasa, pengkhianatan penegak

hukum, dan serangan dari musuh" (HR Hakim dari Ali bin

Abi Thalib, dalam "Koreksi Pola Hidup Umat Islam",

1986:46).

Dari QS 7:96, 5:65-66, 24:55, 65:2-3 dipahami, bahwa

masyarakat adil makmur, penuh berkah, kemajuan

IPTEK-sosial-ekonomi, jadi tuan di negeri sendiri,

adalah masyrakat IMTAQ, masyarakat Islami, masyarakat

yang rela diatur oleh aturan Allah. Yang Yahudi rela

diatur dengan Taurat. Yang Nasrani rela diatur dengan

Injil. Yang Islam rela diatur dengan Qur:an (QS

5:44-50,66). Semoga saja sudah ada yang sukses

berhasil membentuk masyarakat IMTA?di

lingkungan RT, RW, Desa, sekolah, madrasah, masjid,

kampus, kantor, pabrik, pasar, komplek pemukiman, dan

lain-lain (Bks 1-4-98).

 

13 Tuntunan Islam praktis

Baik dari dakwah tatap muka, maupun melalui media

cetak, dan melalui media elektronika, yang amat sangat

diperlukan umat adalah tuntunan Islami praktis, yang

konkrit, yang mudah diterapakan, dan bukan tuntunan

Islami teoritis ilmiah yang abstrak, antara lain

tentang cara menanggulangi, mengatasi, menangani

tawuran antar sekolah, penyampaian protes, penolakan

protes, bentrokan fisik antara rakyat pengunjuk rasa

dengan aparat bersenjata, tindak kekerasan, tindak

kejahatan, pemaksaan kehendak oleh yang berkuasa,

arogansi intelektual, arogansi wakil rakyat, arogansi

pejabat, penyalah-gunaan kekuasaan, transaksi fiktif,

kwitansi fiktif, penggelapan uang, aksi premanisasi,

aksi pengamen, aksi pengemis, parade zina, hedonisme,

krisis keteladanan, mental robot, mental pabrik,

mental badak, mental budak, jambret, rampok, rampas,

todong, perkosaan, pembunuhan, pembantaianan, miras,

mabuk-mabukan, judi, calok, pungli, uang semir,

siluman, pelicin, komisi, amplop, tst, joki, jimat,

kolusi, korupsi, komersialisasi jabatan, dan

lain-lain.

Islam berpesan agar sungguh-sungguh menarik tangan

orang yang zhalim, aniaya, berbuat munkar, kejam,

jahat, sewenang-wenang, dan menghela, paksa, robah,

cegah tangan itu kepada mematuhi kebenaran. Kalau

tidak, maka Allah akan meratakan siksaan-Nya. (Bks

20-9-99).

 

 

14 IPOLEKSOSBUDHAMKAMTIB dan Islam

Penerbit dan Redaksi Media Dakwah sangat diharapkan

untuk dapat menyusun/menerbitkan Risalah/Makalah/Bukau

antara lain mengenai "Politik dan Islam", "Ekonomi

dan Islam", "Televisi dan Islam", "Busana dan Islam",

"Militer dan Islam", dll yang dapat dipahami oleh

tokoh-tokoh semacam Munawir Syadzali, Nurkholish

Madjid, Ainun Nadjib, Dahlan Ranuwihardjo, Dawam

Rahardjo, Syhafi’I Ma’arif, Amien Rais, Abdurrahman

Wahid, Aqil Siradj, Masdar Mas’udi, Hasan Metareum,

Tirtosudiro, Adi Sasono, Mar’I Muhammad, Fuad Bawazir,

Aburizal Bakri, Emil Salim, Syafi’I Antonio, Hasan

Habib, Wiranto, Hasan Tiro Quraisy Shihab, Alwi

Syihab, dan lain-lain.

Memang dalam siasah/politik, kalam/teologi,

tasauf/teosofi, hukm/fiqih, sejarah telah meninggalkan

berbagai firqah/sekte/aliran paham yang antara lain :

- hanya menerima matan nash dan menolak makna nash,

hanya mengambil hakikat (nilai) Islam dan meninggalkan

syari’at (Hukum) Islam. Inkar Syari’at/Siyasah.

Pro-Ribawi. Inkar Jihad. Inkar Jilbab. Dll. Dengan

jargon "Islam yes, Politik Islam No).

- hanya berpegang pada Qur:an saja, dan meninggalkan

Sunnah. "Qur:an Yes, Sunnah No". Inkar Sunnah. (Bks

Idilfitri 1420)

 

15 OKI dan Perjuangan Umat Islam gagal ?

Dengan gencar dihembuskan, bahwa dalam perspektif

historis, gerakan-gerakan yang trennya

memformalisasikan syari'at Islam tidak pernah mengakar

mendapat simpati dari mayoritas umat. Hanyalah

merupakan gerakan sempalan yang tercerai berai dan

tidak pernah menjadi kelompok yang solid (Abd A'la :

KOMPAS 22/10/99:4). Apakah memang benar demikian ?

Apakah memang perjuangan umat Islam akan bermuara pada

kekandasan, pada ketakberhasilan ? Misuari bersama

pasukan Moro Pilipina Selatan-nya terpaksa memilih

jalan damai, barjabat tangan dengan Fidel Ramos pada

pertengahan Agustus 1996 (KOMPAS 3/9/96:1). Bosnia

terpaksa bertekuk lutut ke bawah kuasa PBB yang

dikendalikan AS untuk membentuk negara Bosnia yang

terdiri dari Bosnia, Kroatia dan Serbia. Chechnya

terpaksa menderita terjepit di bawah gempuran

habis-habisan dari Rusia. Taliban Afghanaistan

terpaksa menyerah menerima sanksi PBB (REPUBLIKA

8/11/99:11). Apakah ini juga yang akan dialami

perjuangan Umat Islam Palestina, Dagestan, FIS

Aljazair, NOI Black Moslem AS, DI-NII-TII, MASYUMI,

Darussalam Aceh, dan lain-lain. Dan apa peranan OKI

dalam hal ini ? Tapi yang pasti Qur:an menyebutkan

bahwa "Allah telah berjanji ke pada orang-orang yang

beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang

saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka

berkuasa di bumi (QS Nur 24:55). Rasulullah

berulangkali menyeru "Wahai manusia ! Ucapkanlah "la

ilaha illallah", niscaya kalian beruntung. Dengan

kalimat ini kalian akan menguasai bangsa Arab dan

orang-orang ajam. Jika kalian beriman, maka kalaian

akan menjadi raja di surga" ( Dr Muhammad Sa'id

Ramadhan al-Buthy : "Sirah Nabawiyah" I, 1992:205).

16 Label Syar'i

Pada mulanya terminologi demokrasi, ekonomi, bank,

tanpa embel-embel. Karena sesuatu hal, dimunculkan,

diperkenalkan demokrasi liberal, demokrasi proletar,

demokrasi otoriter, demokrasi terpimpin, demokrasi

Pancasila. Ekonomi kapitalis, ekonomi sosialis,

ekonomi kerakyatan, ekonomi Pancasila. Bank

konvensional, bank tradisional, bank modern. Agar

terkesan bearoma, bernuansa Islam diciptakan,

ditampilkan demokrasi Islam, demokrasi ilahi

(theo-democracy), ekonomi Islam, bank Islam, bank

syar'iyah, bank mu'amalah. Tapi tetap saja

dipertanyakan, apakah semuanya itu jadi Islami ?

Dengan memberi label syar'i, halal, apakah khamar,

ham, riba, zina, judi bisa berubah dari haram jadi

halal ? Apalagi zina, pelacuran, prostitusi dipandang

tidak merusak, tidak merugikan siapa-siapa, malah

menguntungkan, memberikan ketenangan dan kesenangan ke

pada yang bersangkutan. Memang ada periode, orang

telah menganggap baik yang buruk, dan buruk yang baik.

Menyamakan, menyamaratakan, memanipulasi yang haram

jadi halal. Diingatkan agar tidak berbuat dosa,

seperti Yahudi menghalalkan yang diharamkan Allah

dengan berbagai helah (manipulasi), antara lain dengan

merubah namanya.

 

17 Gaya setan selebritis

Setan mengaliri, mengkerebuti, menggerakkan hampir

seluruh aktivitas kegiatan kehidupan manusia. "Setan

berjalan dalam tubuh manusia sebagaimana arus listrik

berjalan pada kabel penghantarnya, atau sebagai

oksigen mengalir dalam tubuh". Kini, melalui media

pendidikan modern (misalnya televisi), setan mendidik,

mengarahkan, mengajarkan kita manusia sepanjang masa,

baik pada masa bocah cilik, pada masa kanak-kanak,

pada masa remaja belia, pada masa dewasa, pada masa

tua renta untuk bergaya setan selebritis. Berbusana

semini-mininya, serba terbuka, mengkerut dari atas ke

bawah, dari bawah ke atas, terbuka dada, punggung,

pusar (udel), betis, paha. Semakin mengkerut, semakin

mini, maka semakin oke, semakin keren, semakin ngetop.

Bergaul bebas sebebasnya tanpa batas, tanpa rasa malu.

(Habis malu habislah iman). Kumpul kebo. Kumpul dulu.

Kawin soal belakang. Bernyanyi berjingkrak-jingkrak,

merentak-rentak, meronta-ronta. Menenggak,

mengkonsumsi miras, narkoba. Mabuk-mabukan. Akrab

dengan mo-limo, dengan narkoba, pelacuran, perjudian,

diskotik, dll. Melalui acara seputar selebritis, kita

disuguhi cerita perselingkuhan, gaya pacaran, gaya

hidup mewah, dll, "Setan menjadikan umat-umat

memandang baik perbuatan mereka yang buruk" (QS Nahl

16:63). (REPUBLIKA, Minggu, 28 November 1999, hal

6-Selisik, hlm 10-Catatan Media). Melalui berbagai

bencana, sudah berkali-kali Tuhan memperingatkan

manusia dan pemimpinnya agar kembali mau mengikuti

perintah Tuhan dan menjauhi ajakan setan (SEMANGGI,

No.2, Kamis, 18 November 1999, hlm 13).

 

18 Pemelintiran (Tahrif Kalamallah)

Islam menempatkan sesuatu pada tempatnya yang pantas.

Menyamakan sesuatu yang pantas disamakan. membedakan

sesuatu pada yang pantas dibedakan. Dalam pahala

ketaqwaan, Islam tak memperbedakan gender, etnis.

Dalam warisan, kepemimpinan (walaa), pertemanan

(bithanah, waliijah), Islam membedakan antara pria dan

wanita, antara yang Islam dan yang bukan Islam

(Yahudi, Nasrani, Zionis, Komunis, dll). Islam sangat

tak suka memplintir yang sudah terang (muhkamat)

menjadi yang kabur (mutasyabihat). membuat hal-hal

yang sudah diyakini (qath'i), yang sudah disepakati

(ijma') menjadi hal-hal yang diperdebatkan, yang

diperselisihkan. Misalnya nash tentang kepemimpinan

sudah sangat terang (muhkamat) menjelaskan bahwa yang

pria, yang Islam itu lah yang menjadi pemimpin.

Memplintir yang sudah terang ini menjadi yang kabur

adalah merupakan fitnah (bahaya) terbesar yang

dihadapi Islam. Deislamisasi, deformalisasi syari'at

Islam bergandengan memplintir yang muhkamat, yang

sudah jelas, yang sudah pasti menjadi yang

mutasyabihat, yang diragukan. "Orang-orang yang dalam

hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka

mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk

menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya"

(QS Ali Imran 3:7).

 

19 Pertemanan

Islam mempersamakan yang pantas disamakan, dan

memperbedakan yang pantas diperbedakan. Islam

menetapkan garis tegas pemisah yang jelas dalam hidup

tentang pedoman/pandangan, tujuan, tugas,

peran/fungsi, kawan, lawan, teladan, bekal, dan

lain-lain. Dalam pertemanan, Islam menetapkan bahwa

"sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara"

(QS 49:10). Orang mukmin adalah saudara bagi mukmin

lainnya, yang mencukupi pekarangannya (memperhatikan

penghidupannya senasib sepenanggungan) dan menjaganya

dari belakang (menjaga serta menjaganya ketika sedang

bepergian dan sebagainya) (HR Ahmad, Abi Daud dari Abi

Hurairah). Jangan bersahabat -kata Nabi saw - kecuali

pada orang mukmin (yang beriman). Dan jangan makan

makananmu kecuali orang bertaqwa (HR Abu Daud, Tirmizi

dari Sa'id al-Khudry, dalam Muhammad Rasyid Ridha :

"Majmu'atul Hadits"). Orang-orang beriman itu bersikap

kasih sayang sesama mereka (QS 48:29). Dalam cinta

kasih itu orang-orang beriman bagaikan satu badan yang

saling merasa, atau bagaikan suatu bangunan yang

saling menguatkan. Islam juga menetapkan bahwa setan

dan pengikutnya (seperti thaghut, fasiq, munafiq,

Yahudi, Nasrani, dan lain-lain) adalah lawan, bukan

sebagai kawan (QS 35:6). Tak dibenarkan bermesraan

(berkoalisi, berkolusi, beraliansi, berelasi) dengan

lawan (QS 58:22, 9:16, 3:118).

 

20 Jangan sampai di-Chechnya-kan

Semula, menjelang proklamasi kemerdekaan RI, semangat

untuk memformalisasikan syari'at Islam sangat

menonjol. Hal ini tampak pada tujuh kata "dengan

kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi

pemeluk-pemeluknya" dalam Piagam Jakarta tanggal 22

Juni 1945. namun sehari setelah Proklamasi, yang

sangat menguat adalah semangat untuk

mendeformalisasikan syari'at Islam. Hal ini sangat

jelas terlihat pada pengebiran Piagam Jakarta dengan

dihapusnya tujuh kata itu di dalam Pembukaan UUD

tanggal 18 Agustus 1945. Upaya deformalisasi ini

semakin lama semakin menguat. Ini bisa diamati dari

sidang Konstituante 1955 dan sidang MPR selang waktu

1971-1999. Dan kini dari upaya-upaya mempersamakan

secara mutlakan tanpa apeduli akan nash-syari'at

(teks-nortmatif) dalam segala hal, dalam jender antara

pria dan wanita, dalam kepemimpinan (walaa) dan

pertemanan (bithanah, waliijah) antara yang Islam dan

yang bukan Islam (Yahudi, Nasrani, Zionis, Komunis,

dll). Sedangkan yang masih berupaya memformulasikan

syari'at Islam, kecewa dengan penghapusan tujuh kata

Piagam Jakarta, dan sebagiannya ada yang berusaha

membentuk NII (Negara Islam Indonesia) 27 Agustus

1948. Sejak masa Daud Beureueh, sejak diproklamasikan

Negara Islam Aceh 21 September 1953, masyarakat Tanah

Rencong berjuang mengembalikan tujuh kata Piagam

Jakarta, agar syari'at Islam, hukum Allah berdaulat,

berkuasa di bumi Aceh Darussalam (SIMPATI, No.6, 6

September 1998, SABILI, No.4, 11 Agustus 1999, hlm

70). Dengan mengembalikan Pembukaan UUD-45 seperti

semula, seperti dalam Piagam Jakarta, diharapkan

tuntutan yang kembali muncul di Aceh, dan dulu tahun

lima puluhan juga muncul di Jawa Barat, Sulawesi

Selatan, Kalimantan Selatan, dll, dapat diakomodir,

dapat dipenuhi. Ini demi kepentingan nyawa dan

kesejahteraan rakyat Aceh dan daerah lain, dan bukan

rakyat Aceh dan daerah lain untuk kepentingan negara

dan penguasa. Untuk mencegah disintegrasi bangsa

seyogianya secepatnya mengembalikan Piagam Jakarta

sebagai Pembukaan UUD-45 (SABILI, No.15, 10 Februari

1999, Saatnya Umat Islam Bertindak). Semoga Aceh dan

daerah lain tak sampai di-Chechnya-kan.

 

21 Islam hanya sekedar nilai ?

Ada yang mengkotak-kotakkan Islam itu pada Syari’at, Hakikat, Tarikat, Ma’rifat. Dulu Islam itu dipahami secara utuh, tak terpisah-pisah antara Syari’at, Hakikat, Tarikat, Ma’rifat. Belakangan ada yang memahami Islam itu hanya sebatas hakikat, sebatas nilai, sebatas prinsip. Yang diperlukan hanyalah menggali nilai-nilai Islam itu. Menggali esensi, jiwa, semangat, nilai-nilai syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, hudud, dan lain-lain. Sedangkan bentuk, wujud, format, kaifiat dari syahadat, shalat, shaum, zakat, haji, qurban, jihad, hudud, dan lain-lain itu terserah selera masing-masing kesepakatan ijmak sesuai dengan perkembangan zaman. Dan akhirnya Islam tinggal sekedar nama.

Bermacam-macam upaya dilakukan untuk menjegal tegaknya syari’at Islam. Dengan memisahkan antara syari’at dan hakikat dalam Islam. Dengan menyanjung-nyanjung dan memuji-muji nilai luhur Islam, prinsip umum Islam. Dengan mengesampingkan syari’at Islam. Dengan memanipulasi, mengebiri pengertian syari’at Islam. Dengan meyakinkan bahwa Islam hanya sekedar hakikat, sekedar nilai, sekedar prinsip. Yang sampai ke tingkat Hakikat ini adalah orang-orang Arifin. Bila telah sampai ke tingkat, ke derajat Arifin, ini, maka gugurlah segala kewajiban. Tak ada lagi beban taklif. Tak ada lagi yang wajib dan yang haram baginya. Inilah antara lain ajaran yang dinisbahkan, disandarkan kepada Ibnu ‘Arabi (HAS Alhamdani : "Sanggahan Terhadap Tasawuf Dan Ahli Sufi", 1982:125). (Bks 20-2-2000)

 

22 Islam hanya urusan ibadah ?

Semula sebatas, bahwa untuk masalah-masalah yang menyangkut hubungan-hubungan antara manusia dengan manusia, yang berhubungan dengan keperluan duniawi, adalah selalu diperkenankan (halal), tidak dilarang sampai ada aketentuan nash yang melarangkannya. Sedang untuk masalah-masalah yang berhubungan dengan Allah, dengan persoalan ukhrawi, maka senantiasa dilarang (haram) berbuat sesuatu, sampai ada ketentuan nash yang menyuruh berbuat. (Hukum asal dalam urusan muamalat adalah ibahah/boleh, sampai datang dalil/keterangan yang mengharamkannya)

Kemudian meningkat naik (meluncur turun ?), bahwa Islam tidaklah memiliki kaitan dengan dan dimasukkan pada masalah yang bersifat keduniawiaan sama sekali. Islam tidak pula memiliki syari’at yang berkenaan dengan persoalan serupa itu. Allah sama sekali tidak berkepentingan dengan persoalan duniawiah dan tidak pula memberi perhatian pada kepentingan hidup manusia di dunia ini. Dunia ini hina, dan terlalu hina bagi Allah untuk menurunkan agama atau mengutus para Rasul untuk mengurusnya. Dunia ini sepenuhnya diserahkan kepada akal dan kemauan manusia yang beraneka ragam dan selalu berubah-ubah. Islam tidak memiliki ysari’at yang mengatur masalah harta maupun masyarakat. Islam juga tidak memiliki ajaran tentang jihad. Semuanya itu adalah urusan duniawi, dan bukan urusan ibadah yang diatur oleh Islam. Demikian ditanamkan dari teori politik Ali Abdul Raziq (Dr Dyiya:ad-Din ar-Rais : "Islam Dan Khilafah", 1985:191). (Bks 20-2-2000)

 

23 Harakah dakwah tanpa harakah siyasah ?

Pergerakan Islam masa kini digolongkan orang dalam dua golongan besar. Pertama, pergerakan yang reformsi, yang ittiba’i, yang berorientasi hanya pada Qur;an dan Sunnah. Pergerakan reformis ini berupaya menjadikan Qur:an dan Sunnah sebagai sumber rujukan ibadah. Kedua, pergerakan yang modrnis, akomodatif, taqlidi, yang beroritentasi pada maslahah mursalah (kepentingan umum). Pergerakan modernis berupaya menyesuaikan kehidupan umat Islam dengan perubahan zaman (tasharuful imam ‘alar-ra’iyyah manuthun bil-mashlahat). Memisahkan Islam dari negara dalam suatu pemerintahan. Pergerakan modernis berupaya menjadikan ajaran madzhab dari Mujtahid mutlak juga sebagai sumber acuan dan rujukan.

Namun dalam praktek perjalanan sejarah, baik pergerakan reformis yang berorientasi pada Qur:an dan Sunnah, maupun pergerakan modernis yang mengacu pada madzhab, sama-sama memisahkan gerakkan dakwah dan aktivitas politik. "Qur:an tak pernah memerintahkan agar negeri diatur, ditata oleh Islam". "Islam hanyalah dakwah diniyah. Semata-mata mengatur hubungan manusia dengan masalah keduniaan, seperti urusan peperangan dan urusan politik". "Agama adalah satu hal, dan politik adalah suatu hal yang lain". Demikian, antara lain yang dimamah dari teori politik Ali Abdul Raziq (Dr Dhiya:ad-Din ar-Rais : "Islam Dan Khilafah", 1985:191). (Bks 20-2-2000)

 

24 Dibutuhkan Kode Etik Muamalah

Di sementara komunitas terdapat hal-hal yang berlaku, yang sudah baku. Namanya bisa adab, adat, tradisi, sopan santun, tata kerama, kode etik. "Siri" barangkali juga merupakan bagian dari hal ini. Ada yang tertulis, dan ada pula yang tak tertulis. Di kalangan wartawan terdapat kode etik jurnalistik. Di kalangan pengacara terdapat kode etik advokat. Di kalangan dokter terdapat kode etik kedokteran. Di kalangan pelaku tindak kemunkaran, misalnya adi kalangan pelaku judi terdapat aturan main yang harus dipatuhi oleh pemain judi.

Tapi di kalangan politisi (pelaku urusan kenegaraan, baik eksekutif, legislatif, yudikatif) barangkali rasa-rasanya tak terdapat kode etik (tata kerama) berpolitik cantik yang baku, yang standard. Kapan harus menghujat (mengkritik). Kapan harus diam. Kapan harus terbuka, dan kapan harus tertutup. Kapan harus secara langsung, dan kapan hartus secara tak langsung. Bagaimana mekanismenya. Semuanya rancu, tak ada aturan main (mekanisme) yang sama sama disepakati. Hak interpelasi, hak angket dipermasalahkan. Kapan harus menggunakannya dana bagaimana cara menggunakannya yang tepat menurut undang-undang.

Dalam hubungan ini di kalangan komunitasa Arab primitif (jahiliyah) ada hal yang mnenarik, yaitu adanya tata kerama (kode etik) berselisih, bertikai, bersengketa, berantam, berkelahi, berperang..

Di antara adat kebiasaan buruk dari komunitas Arab primitif (jahiliyah) adalah mengadakan tindakan balasan balik secara berlebih-lebihan, sehingga sampai mengorban jiwa raga, hanya lantara persoalan remeh saja. Namun demikian terdapat pula adat kebiasaan yang baik seperti keperwiraan, kesatriaan, memberi pertolongan, memelihara dan menunaikan janji, memelihara tetangga, menjamu tamu (Muhammad Husain Haekal : "Sejarah Hidup Muhammad, 1984:17, Amali : "Planning & Organisasi Dakwah Rasululullah", 1980:18).

Di samping itu juga sudah jadi adat turun temurun bahwqa segala peperangan harus berhenti pada bulan yang mereka muliakan, yaitu bulan Rajab, Zulkaidah, Zulhijjah dan Muharram (Prof Dr hamka : "Tafsir Al-Azhar", II:198). Dan ada lagi sistem jiwar (perlindungan pertetanggaan) yang biasa diminta oleh kalangan yang lemah kepada yang lebih kuat ("Sejarah Hidup Muhammad", 1984:10).

Kemudian islam menetapkan kode etik (ta kerama) berperang yang baku. Di antaranya ; larangan menyiksa, perlindungan bagi yang terluka, larangan membunuh tawanan, larangan menjarah dan merusak, menjaga kesucian hak milik dan kesucian janazah, larangan melanggar perjanjian, larangan membunuh yang bukan jadi pasukan musuh (seperti orangtua, anak-anak, wanita, pemimpin agama, ahli ibadat) (Abul A’la al-Maududi : "Hak Asasi manusia Dalam Islam", 1985:73-80).

Di jaman modern ini diciptakan kode etik (aturan main) bagi petinju berkelahi, berantam di atas ring tinju.

Kode etik semacam ini seharusnya diperluas. Dalam hidup berbangsa bernegara, maka untuk kalangan politisi (pengelola negara) harus ada suatu kode etik (tata kerama) berpolitik yang harus dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat. Semoga dengan adanya kode etik tersebut dan dengan adanya kemauan untuk mematuhinya, maka suasana kehidupan bangsa ini diharapkan akan bisa aman, tenteram. Semoga. (Bks 19-12-2000)

Enter supporting content here