1 Melacak Tatanegara Islam

Negara di dunia terdiri dari mantan negeri penjajah (kolonial) dan bekas neeri terjajah (jajahan). Tatanegara bekas negeri jajahan mengacu pada Tatanegara bekas negeri penjajah yang semuanya menganut paham jahiliyah mterialisme, yang bertmpu pada paham sekularisme, nasionalisme, demokrasi yang semuanya juga berseberangan dengan Islam (Abul A'la Maududi : Kemerosotan Umat Islam dan Upaya Pembangkitannya", 1984:37-39).

Bentuk negara ksatuan, negara serkat (federal), serikat negara-negara (konfederasional), uni (union) tak dikenal dalam Islam. Bentuk pemerintahan monrchi, diktatur tak dikenal dalam Islam. Sifat pemerintahan otokrasi, oligarsi, demokrasi tak dikenal dalam Islam. Kedaulatan Tuhan (theokrasi), kedaulatan negara, kedaulatan rakyat (demokrasi), kedaulatan hukum tak dikenal dalam Islam (Sayid Quthub : "Petunjuk Jalan", hal 110-111, SABILI, No.2, Th.VIII, 12 Juli 2000, hal 8-9, Komentar : Republika dan Khilafah).

Tatanegara Islam tegak pada landasan "La ilaha illah". Allah itu Maha Mutlak. Yang Mutlak hanya dapat diimani, tak dapat dipahami, abstrak pada akal. "Fikirkanlah tentang makhluk Allah, dan jangan sekali-kali memikirkan zat Allah". Yang abstrak pada akal, untuk dapat dipahami haruslah lebih dahulu diproyeksikana, dibumikan dalam wujud, bentuk yang konkrit pada akal. Menghadap wajah Allah (QS 2:115) adalah ungkapana yang abstrak pada akal. Menghadap Ka’batullah (QS 2:149-150) adalah ungkapan yang konkrit pada akal, merupakan proyeksi dari menghadap Allah. Tapi Ka’batullah bukanlah Allah. Mencintai Allah dan Rasul-Nya (QS 3:31) adalah ungkapan yang abstrak pada akal. Mencintai, menyantuni, memperhatikan publik (orang banyaak, orang melarat, orang terlantar) (QS 107:1-3, 9:60, 2:177, 3:92, 8:41) adalah ungkapan yang konkrit pada akal, merupakan proyeksi dari mencintai Allah. Tapi publik (orang banyak), bukanlah Allah dan Rasul-Nya. "Sesungguhnya di hari Kiamat nanti, Allah berfirman : "Wahai anak Adam. Aku minta makan kepdamu, tetapi engkau tidak mau memberiKu makan. Tahukah engkau, wahai anak Adam, sesungguhnya hambaKu si Fulan itu meminta makan kepadamu, tetapi engkau tiada memberinya makan. Ketahuilah, bila engkau memberinya makan, maka engkau mendapatkan rakhmat di sisiKu. Sabilillah, proyeksinya, refleksinya adalah kepentingan publik (Abu A’la Maududi : "Dasar-Dasar Islam", 1984:190-191).

Kebenaran ilahiyah (QS 2:147) adalah ungkapan yang abstrak pada akal. Opini publik, pendapat umum (orang banyak dari kalangan orang mukmin) adalah ungkapan yang konkrit pada akal. "Hati-hatilah terhadap firasat orang mukmin, karena orang mukmin itu melihat dengan nur Allah" (HR Tirmidzi). Kedaualatan ilahiyaha, kedaulatan hukum ilahiyah (theokrasi) adalah ungkapan yang abstrak pada akal. Kedaulatan publik, kedaulatan rakyat (demokrasi) adalah ungkapan yang konkrit pada akal. Tapi publik bukanlaha ilahiyah. Vox populi vox Dei. Abu A’la Maududi kesulitan menemukan terminologi kedaulatan yang sesuai dengan Islam. Akhirnya ia menciptakan istilaha "theo-democracy" untuk menyimpulkan konsep politik dan pemerintahan Islam (M Amaien Rais, Kata Pengantar : "Khilafah dan Kerajaan", 1984:24). Bentuknya berupa perwakilan manusia di bawah kedaulatan Tuhan (Abu A’la Maududi : "Pokok-Pokok Pandangan Hidup Muslim", 1983:53).

Rasulullah saw tidaklah meninggalkan warisan politik yang terperinci tentang bagaimana menyusun Syura. Maka terserahlah bagaimana hendaknya teknik melancarkan syura itu menurut keadaan tempat dan keadaan zaman. Apakah akan mengadakan Pemilu, MPR, DPR, DPA, Dewan Senat, Dewan Menteri (Kabinet Presidentil atau Parlementer), bukanlah menjadi soal. Yang penting adalah bahwa dalam masyarakat mestilah ada syura, musyawarah di antara mereka (Prof.Dr.Hamka : "Tafsir Al-Azhar", juzuk IV, 1983:152).

Karena Tatanegara Islam itu tegak pada landasan "la ilaaha illallah", maka pertama-tama perhatian haruslah ditujukan ke arah membersihkan hati nurani para anggotanya dari penghambaan diri kepada yang lain dari Allah (membenarkan tauhid), dalam bentuk mana pun juga. Lalu kemudian berkumpul dalam suatu jama’ah Muslim. Mereka inilah yang pantas mendirikan masyarakat Islam. Dalam masyarakat itu terlambang syahadat "la ilaaha illallah, Muhammadur Rasulullah" (Sayid Qutub : "Petunjuk Jalan", hal 101). Sepetak kecil wilayah yang masyarakatnya ditata dengan aturan Allah lebih baik dari sehamparan luas wilayah yang masyarakatnya ditata dengan aturan thagut, jahiliyah, sekularisme. Selain ;’Petunjuk Jalan" (Ma’alim fith Thariq) ada pula "petunjuk Jalan" ("Metode Revolusi Islam" dan "Upaya Pembangkitan Ummat Islam") Abu A’la Maududi, yang juga menunjukkan jalan metode revolusi Islami, dimulaiu dengan membersihkan, meluruskan aqidah tauhid dan mendidik akhlak karimah paripurna, serta menyiapkan kader-kader pejabat pemerintah (sipil dan militer), memasyarakatkan ajaran Islam (IPOLEKSOSBUDHAMKAMTIB), memberlakukan hukum-hukum Islam (Hudud Pidana dan Perdata) sebagai hukum positif

 

2 Ahmadiyah

Ahmadiyah Lahore masuk Indonesia tahun 1924 di bawa oleh Mirza Wali Ahmad dan Maulana Ahmad di Yogyakarta. Sedang Ahmadiyah Qadiyan, masuk Indonesia tahun 1925 dibawa oleh Maulana Rahmat Ali di Sumatera Barat.

Ahmadiyah Qadiyan mengakui, bahwa setelah Nabi Muhammad masih ada Nabi. Dan setelah Mirza Ghulam Ahmad masih ada kKhalifah sebagai pengganti Mirza . Sedang Ahmadiyah Lahore tidak mengakui bahwa sesudah Nabi Muhammad masih ada Nabi. Mirza hanya disebut5 sebagai Mujaddid (pembaharu) abad 19. Sedang sesudah kematian Mirza tidak ada Khalifah.

Namun Mirza sendiri menyatakan "Saya bersumpah. Demi Allah yang menguasai ruhku. Allaha-lah yang mengutusku sebagai nabi". "Bahkan Mirza mengatakan , bahwa sebagai nabi, dirinya lebih mulia dari para Nabi Ulul Azmi, termasuk Muhammad saw sendiri (Haqiqatul Wahyi 257). Orang yang tidak beriman kepadanya dianggap kafir. Karena berarti ingkar kepada Allah dan Rasul-Nya (Haqiqatul Wahyi 163).

Terhadap yang bukan Ah madiyah, maka yang Ahmadiyah menyatakan bahwa Ahmadiyah meyakini Ghulam Ahmad sebagai Nabi, tapi bukan Nabi pembawa syari’at, bukan Nabi yang mandiri (SABILI, No.5, 23 Agustus 2000, hal 9). Ahmadiyah meyakjini Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi atau al-Masih al-Mau’ud (Nabi Isa yang dijanjikan kedatangannya), dengan menggunakan Hadits-Hadits riwayat Bukhari, Muslim tentang turunnya Imam Mahdi dan Isa ibu Maryam.

Mirza mulai berakting mengaku sebagai pembaharu (Mujaddid), meningkat sebagai Imam Mahdi, lantas sebagai al-Masih al-Mau’ud, dan akhirnya mengaku Nabi.

Secara jujur, Mirza Ghulam Ahmad menyatakan "Sebagian dari umurku kukerahkan untuk mendukung pemerintah Inggeris dan memenangkannya. Dan aku telah tulis untuk melarang jihad melawan Inggeris". "Dari masa muda-ku, aku berjuang dengan lidah dan penaku untuk menarik hati kaum Muslimin supaya patuh pada pemerintah Inggeris dan ramah dengannya. Aku menantang ide jihad yang dianaut sebagian Muslim yang jahil dengan menghalangi untuk patuh pada Inggerius (Pelengkap Sadatul Qur:an). Mirza Ghulam Ahmad (1839-1908) mengutuk jihad melawan imperialis Inggeris, dan menganggapnya sebagai suatu tindakan kriminal (Maryam Jamiilah : "Islam dan Modernisme", 1982:83). Ahmadiyah dilahirkan dan dirawat Inggeris dengan markas besarnya di London.

Berbeda dengan Muhammad saw yang tak punya karya tulis, Ghulam Ahmad menulis banyak buku, brosur yang ia sebarkan ke berbagai negeri Islam, bahkan juga ke Eropah. Setelah mengaku diri sebagai Nabi, Mirza menuliskan semua (yang disebutnya) wahyu yang diterimanya, dan dikumpulkannya dalam sebuah kitab yang disebut "Tadzkirah" (Wahyu Muqaddas) yang merupakan penggalan-penggalan ayat al-Qur:an yang diacak-acak.

Pada saat India berjuang melawan Inggeris, Ahmadiyah sibuk dengan perdebatan-perdebatan soal wafatnya al-Masih, hidupnya dan turunnya, serta kenabiaan Ghulam Ahmad. Memperdebatkan mutawaffika (QS 3:55), khalifah (QS 24:55), imam (QS 17:75) untuk mendukung argumentasi kenabian Mirza. Kaum Ahmadiyah mau berdebat bertukar fikiran berhari-hari bermalam-malam untuk mengukuhkan pendiriannya bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Nabi, al-Masih al-mau’ud (Nabi Isa yang dijanjikan akaqn turun di akhir z a man), dan bahwa Nabi Isa al-Masih telah mati. Nabi Isa al-Masih dia matikan dulu, dan kemudian ditampilkan Mirza Ghulam Ahmad sebagai Nabi Isa al-Masih yang dijanjikan (Prof Dr Hamka : "Tafsir Al-Azhar", III, 1984:185, Lembaga Pengkajian dan Penelitian MAWY : "Gerakan Keagamaan dan Gerakan Pemikiran", 1995 : Qadiyanisme, Perslah Debat antara Pembela Islam dan Ahmadiyah Qadian, dalam TEMPO 21 September 1974, SABILI, No.3, Th.III, 26 Juli 2000, hal 28-35).

 

3 Istighatsah

Istighatsah – dalam bahasa Arab – sepola dengan istikharah, isti’arah, istiqamah, istitha’ah, istisaarah, yaitu pola istif’aal. Maksudnya adalah permohonan agar diturunkan hujan. Arti, makna seperti ini dapat disimak dari do’a Rasulullah "Allahumma aghitsnaa", Ya Allah, turnkanlah hujan kepada kami.

Pada masa Rasulullah pernah terjadi bencana kemarau panjang. Hujan tak turun-turun. Tanaman kering kerontang. Panen gagal. Ternak jatuh bergelimpangan. Tanah retak-retak. Jalanan terputus. Persediaan makanan ludes. Orang-orang menyadari betul bahwa hanyalah Rasulullah yang do’anya makbul. Ketika Rasulullah sedang berkhutbah di tengah-tengah mereka di atas mimbar di suatu hari Jum’at, mereka bangun berdiri menghadap Rasulullah memohon agar Rasulullah berdo’a minta Allah menurunkan hujan. Rasulullah langsung mengangkat tangan berdo’a "Allahumma aghitsnaa", Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Do’a Rasulullah benar-benar makbul. Segera angin bertiup, awan berarak, hujan turun sepanjang hari, bahkan sampai seminggu tak berhenti-henti. Bangunan pada rusak. Harta benda pada terendam air. Pada Jum’at berikutnya orang-orang kembali menghadap Rasulullah memohon agar berdo’a minta Allah menghentikan hujan. Rasulullah tersenyum. Manusia memang serba susah. Panas susah. Hujan susah. Rasulullah langsung mengangkat tangannya berdo’a "Allahumma hawalaina, wa la ‘alaina", Ya Allah, turunkan hgujan di sekitar kami, dan bukan di atas kami. Hujan langsung turun di sekitar Madinah. Segera air yang tergenang mulai surut. Lamanya sampai sebulan (HR Bukhari, Muslim dari Anas bin Malik, bab Istisqaa).

Tak pernah ada riwayat yang dapazt dijadikan acuan untuk meyelenggarakan acara istighatsah menolak bala (bencana nasional), apalagi yang namanya ruwatan. Dalam kitab Fiqih terdapat bab Istisqaa, dan sama sekali tak terdapat bab istighatsah

 

4 Keadilan Gus Dur

Gus Dur menyadari benar akan kebatilan tindakan lasykar jihad pendukungnya yang akan datang ke Jakarta menggelar unjuk rasa ke DPR. Meskipun tindakan itu batil, namun Gus Dur sengaja membiarkannya dan sengaja tidak berupaya mencegahnya. Alasanny a karena ini merupakan konsekuensi logis dari tindakan DPR yang overakting dengan menggugat dan menghujat kebijakan politiknya yang juga batil. Jadi bagi Gus D ur, kebatilan itu harus dilawan dengan kebatilan, bukan dengan kebenaran. Inilah keadilan sang demokrat otokrat Gus Dur.

 

5 Pasukan Rela Mati

Lasykar Jihad (Pasukan Rela Mati) – dalam Islam – hanyalah untuk membela dan mempertahankan Qur:an Dan Sunnah, dan bukan untuk membela kebenaran yang berdasarkan nafsu, dan bukan pula untuk membela dan mempertahankan seseorang yang tidak berupaya berpegang pada Qur:an dan Sunnah.

 

6 Kesalahan MPR

MPR sepakat mengangkat Gus Dur dan Megawati sebagai Presiden dan wakil Presiden RI. Ternyata Gus Dur tak memenuhi harapan reformasi. Tanggungjawab terletak pada MPR. Menurunkan Gus Dur dan m,enaikkan Megawati sebagai Presiden, bukanlah menyelesaikan masalah. Megawati tak lebih baik kinerjanya dari Gus Dur. Apalagi Megawati pernah dipandang orang, agamanya tak jelas. Dukungan pada Megawati lebih pada emosional (puteri Bung Karno). Lebih baik MPR memfokuskan diri menyusun Konstitusi Baru yang tetap sebagai pengganti UUD-45.