Bughat – menurut terminologi Islam – adalah aksi bersenjata yang dilakukan oleh sekelompok rakyat (kaum Muslimin) yang menentang pemerintah (Khalifah) yang dipandangnya sudah tidak lagi memenuhi syarat untuk dita’ati, dipatuhi. Pemerintah (Khalifah dalam Negara Islam) wajib memerangi kaum bughat itu, bilamana mereka itu benar-benar memliki kekuatan senjata, dan benar-benar melawan pemerintah. Kaum bughat itu harus ditundukkan dengan cara-cara yang mengandung risiko paling kecil, dan semata-mata hanya untuk memaksa mereka kembali menta’ati, mematuhi pemerintah, serta melenyapkan kejahatan mereka.

Hal ini pernah terjadi, ketika satu golongan kaum Muslimin dahulu, melepaskan diri dari menta’ati, mematuhi Khalifah yang ke-empat (Khalifah Ali bin Abi Thalib), karena mereka menyangka bahwa Khalifah tersebut mengetahui akan orang yang telah membunuh Khalifah ketiga (Khalifah Usman bin Affan) (H Sulaiman Rasyid : "Fiqih Islam", 1977:419).

Mengenai kebebasan berpendapat, Imam Abu Hanaifah menyatakan, bahwa barangsiapa mengecam atau memprotes Khalifah yang sah serta pemerintahannya yang sah dan adil dan mencerca imam (Kepala Negara) masa itu, bahkan secara terang-terangan mengancam akan membunuhnya, maka menurut Abu Hanifah, ia tidaka boleh dipenjarakan atau dihukum karenanya, selama ia tidak ber’azam, bermaksud untuk benar-benar melakukan suatu gerakana pemberontakan bersenjata (bughat) atau menyebarkan ancaman dan ketakutan di dalam negeri.

Dalam hal ini ia berdalail dengan peristiwa yang berkenaan dengan Sli bin Abi Thalib, setelah ia menjabat sebagai Khalifah, ketika orang-orangnya menangkap lima orang yang mencaci-makinyaa di kota Kufah secara terang-terangan, dan salah seorang di antara mereka berkata : "Aku berikrar kepada Allah akan membunuhnya", maka Ali memerintahkan untuk melepaskan mereka. Seorang laki-laki berkata kepadanya : "Bagaimana Anda melepaskannya, sedangkan ia berikrar kepada Allah akan membunuhmu ?". Berkata Ali : "Apakah aku harus membunuhnya, sedangkan ia tidak membunuhku ?". Orang itu berkata lagi : "Ia telah menunjukkan cercaan kepadamu". Maka Ali berkata kepadanya : "Anda boleh mencercanya apabila Anda ingin, dan membiarkannya pergi".

Imam Abu Hanifah menyatakan, bahwa keimaman (kepemimpinan seorang Kepala Negara) yang zalim bukan saja batal, tetapi lebih dari itu, dibolehkan melakukan pemberontakan (bughat) terhadapnya. Bahkan seyogianya hal itu dilakukan dengan syarat pemberontakan itu memiliki faktor untuk dapat berhasil dan berfaedah dengan seorang (Kepala Negara) yang adil dan baik sebagai pengganti pemimpin yang zalim dan fasik, dana bukan semata-mata memecah-belah kekuatan dan menghilangkan nyawa (Abu A’la al-Maududi : "Khilafah Dan Kerajaan", 1984:133,335-336, al-Asy’ari : "Maqaalat al-Islamiyah", jilid 2, halaman 125).