Gus Dur Demokrat-Otokrat

Gus Dur amat sangat paham, amat sangat mengerti sekali tentang kekuasaan yang diberikan UUD-45 kepadanya sebagai Presiden, yang biasa dikenal dengan hak prerogatif (Yang merupakan salah satu kelemahan UUD-45 yang membuka peluang akumulasi kekuasaan). Gus Dur tidak menyia-nyiakan kekuasaan, hak tersebut sebaik-baiknya. Gus Dur sangat mahir, sangat pintar, untuk tidak mengatakan amat sangat sadis menggunakan kekuasaan, hak prerogatif itu dibandingkan dengan Soekarno dan Soeharto. Dimulai dengan pembubaran Departemen Penerangan Dan Departemen Sosial, penyingkiran dan penggantian empat orang Menterinya, pencopotan dan penggantian Kapolri, pencopotan dan penggantian Kepala Kantor Berita Antara, pemncopotan dan penggantian Menteri Kehutanan, rekayasa penggusuran Gubernur BI, kasus penjegalan Ketua MA, dan lain-lain. Gus Dur sudah sangat terlatih. Terlihat pada kasus pementahan hak interpelasi DPR (yang dinilai macam anak TK), pementahan hak pansus Bruneigate, Buloggate, dan lain-lain. Seorang Gus Dur yang dituntun ke mana-mana tak akan bisa digoyahkan, dika:okan oleh seribu anggota MPR. Semboyan Gus Dur ‘Maju Tak Gentar’.

Sampai kini Gus Dur – menurut Emha Ainun Nadjib – tetap survive, bahwa yang dilakukannya semala ini berhasil sukses. Secara politis dan kultural, eksistensi Gus Dur sampai kini terbukti tak bergeming, tak tergoyahkan oleh berbagai gelombang badai macam apapun. Kedudukan sosialnya kukuh dengan kelengkapan ilmu ‘kitab kuning’nya, wawasan modernnya, daya pukaunya yang dahsyat terhadap media massa, dan ‘kenakalan’nya yang menawan. Profil Gus Dur sebagai seorang nasionalis, seorang demokrat, seorang budayawan, seorang pemberani yang selalu gagah melawan arus, seorang scholar tradisional sekaligus modern yang memahami segala seluk-beluk ilmu keislaman maupun segala aspek kemodernan, seorang bintang yang telah tiba pada suatu tarap sedemikian besarnya, sehingga orang-orang mau tidak mau harus berusaha menambah referensi untuk memahami Gus Dur. Dalam perpolitikan dan kultur dunia ilmu pengetahuan, Gus Dur telah menjadi semacam putera mahkota dengan kuluk di kepalanya yang berbunya ‘Gus Dur can do no wrong’. Gus Dur tak mungkin berbuat salah. ‘Sabdo pandito ratu’. Gus Dur adalah pemain sepakbola dialektika politik yang handal, yang siap memperoleh kartu kuning, atau bahkan kartu merah, baiak dari wasit, dari pemain kawan, dari yang empunya bola, atau mungkin juga dari penonton. Sepakterjang Gus Dur bermaksud menumbuhkan demokrasi setelanjang-telanjangnya, menerapkan suatu ideologi nasionalisme yang habis-habisan, melakukan domestikasi, pembumian nilai-nilai Islam. Biarkanlah Gus Dur melakukan pilihannya, sambil menuntut Gus Dur untuk membiarkan juga pilihan-pilihan yang lain, sehingga nanti bisa disaksikan mana yang lebih realistis dan relevan terhadap kesejatian ciata-cita universal Islam (‘Surat Kepada Kanjeng nabi’, 1997:281, 283, 284, 285, 290).

Namun bagaimanapun Gus Dur amat sangat berbeda dengan mendiang ayahandanya Wahid Hasyim almarhum yang amat konsern, konsisten, komit dengan Islam. Gus Dur – demikian HM Surya Tantara R – mempunyai metodologi penyelesaian nasalah (problem solving) yang sangat tidak lazim. Gus Dur cenderung mengubur masalah dengan cara menampilkan masalah lain. Ini tipikal pola pikir seorang kolumnis yang setiap menghadapi tenggat waktu mengisi kolomnya di media cetak, masalah baru harus dilontarkan, tanpa keharusan dan tanggungjawab untuk memecahkan masalahnya serta mengimplementasikannya. Keahlian dan track record Gus Dur adalah sebagai pelontar gagasan, raising problem (memunculkan persoalan) dalam bentuk tulisan maupun orasinya yang memikat. Namun Gus Dur tidak memiliki track record dalam memecahkan masalah. Gus Dur tidak memiliki pengalaman eksekutif, kecuali management tradisional ala pesantren di PBNU (REPUBLIKA, Sabtu, 17 Feburari 2001, hal 6, Opini).