Back

Seratus Tahun Nasionalisme di Indonesia

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 pada hakikatnya adalah pemindahan kekuasaan dari kolonialis Belanda kepada penjajah baru yang bernama Republik Indonesia. Teks-naskah proklamasi itu berbunyi "Kami Bangsa Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan Indonesia". Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkatnya".

Kekuasaan yang dipindahkan itu adalah hasil perampasan Belanda atas kedaulatan kerajaan dan kesultanan Pasai, Demak, Pajang, Mataram, Banten, Cirebon dan lain-lain, melalui berbagai pertempuran seperti Perang Makassar, Perang Trunojoyo, Perang Surabaya, Perang Madura, Perang Ganten, dan lain-lain. Kekuasaan itu dirampas secara paksa, secara melawan hukum.

Kekuasaan, kedaulatan itu bukanlah hak milik kolonialis Belanda, juga bukan hak milik Republik Indonesia, tetapi hak milik dari kerajaan dan kesultanan Islam yang dimusnahkan secara paksa itu. Dalam hal ini Republik Indonesia tak beda dengan kolonialis Belanda. Kekuasaan, kedaulatana itu seharusnya dikembalikan, diserahkan kepada pemiliknya yaitu kerjaan dan kesultanan Islam yang dibinasakan itu.

Perjuangan, pertempuran menantang melawan kolonialis Belanda sampai akhir abad ke-19 adalah untuk merebut, mengembalikan kedaulatan kerjaan dan kesultanan Islam yang dirampas kolonialis Belanda. Dengan demikian Proklamasi Kemerdekaan merupakan pengkhanatan terhadap perjuangan mengembalikan kedaulatan kerajaan dan kesultanan Islam yang dirampas kolonialis Belanda.

Diponegoro mengatakan bahwa ia pertama-tama hendak membentuk negara merdeka di bawah pimpinan seorang Sultan dan kedua ia hendaklah menjadi Amirul Mukminin di seluruh Jawa, sebagai Kepla Masyarakat Islam (Anar Sanusi : "Sejarah Indonesia untuk Sekolah Menengah", III, 1951:50).

Kaum Paderi (Orang Putih di Minangkabau) pada hakekatnya ingin melenyakan adat (ideologi lokal) dan menggantinya dengan aturan-aturan agama (Islam) (idem, hal 63).

Sampai akhir abad ke-19 tak pernah dikenal apa yang disebut dengan Indonesia, bangsa Indonesia, Kebangsaan Indonesia, Nasionalisme Indonesia. Al Chaidar menyebutkan bahwa nama Indonesia itu diperkenalkan oleh ahli Jerman, Logemann ("Wacana Ideologi Negara Islam", 1999:94).

D Mutiara menyebutkan bahwa nama Indonesia (Indonesos) pertama kali dipakai oleh orientalis Inggeris, G W Earl Fischer pada tahun 1850, oleh orientalis Jerman, Adolf Bastian pada tahun 1856, oleh mahasiswa-mahasiswa nasionalis Hindia Belanda (Hindia Timur) di negara Belanda pada tahun 1922. Sedangkan Multatuli (Edward Douwes Dekker) menggunakan nama Insulinde dalam "Max Havelaar’ pada tahun 1859 ("Kamus Mutiara", 1955:76, Entri : Indonesia).

Dulu sebelum penjajahan Belanda, pernah tampil Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang hanya mampu bertahan 60-70 tahun, damun kemudian mengalami disintegrasi menjadi kerajaan-kerajaan kecil. (Heru Musekab : "KOMPAS, Sabtu, 9 Desember 2000, hal 4").

Baru pada awal abad ke-20 mulai muncul apa yang namanya Indonesia, bangsa Indonesia, kebangsaan Indonesia, Nasionalisme Indonesia. Karena punya musuh yang sama, yaitu kolonialis Belanda, maka diintrodusir, ditumbuh-kembangkan perasaan senasib sebangsa, se tanah air yang disebut dengan rasa kebangsaan (nasionalisme). Jonbg Java, Jong Sumatera, Jong Celebes, Jong Ambon, Yamin yang Andalas, dan lain-lain digiring kepada Indonesia Muda melalui Sumpah Pemuda, menghapuskan rasa kedaerahan (provinsialisme), melupakan tujuan perjuangan semula untuk merebut, mengembalikan kedaualtan kerjaan dan kesultanan Islam. Sumpah Pemuda merupakan pengkhianatan pertama terhadap perjuangan untuk mengembalikan kedalam kerajaan dan kesultanan Islam di Nusantara. Kesatuan dan Persatuan Indonesia hanya terikat pada perjuangan melawan kolonialis. Setelah kolonialis tidaka ada lagi maka seharusnya kedaulatan kerajaan dan kesultanan Islam di Nusantara yang dirampas kolonialis Belanda itu dikembalikan kepada yang berhak. Dalam buku pelajaran Sejarah Indonesia untuk sekolah tahun lima puluhan tak pernah disebut-sebut tentang Sumpah Pemuda, juga dalam pidato Lahairnya Pancasila Soekarno.